Minggu, 20 Juni 2010

Politisi Ala Pemilu 2009

Oleh : Achmadi Touwe
Pengamat Pemerintahan dan Politik Lokal
Universitas Al Asyariah Mandar

Pemilihan Umum 2009 sudah berlalu, kasak - kusuk para politisi (kacangan, ikut-ikutan, yang gak pernah nyebut kata POLITIK, yang belajar, bahkan politisi mapan), belum lagi politisi “kutu loncat” (sekadar mencari posisi aman), semua sibuk untuk mempersiapkan diri. Rumah Sakit disibukkan, Kepolisian, Kehakiman, tukang-tukang sablon, konveksi, bahkan samapai kepala Dusun (sebuah pemandangan yang menunjukkan ketidak matangan dalam memahami politik). Ironisnya mereka tidak sibuk untuk mendalami partai yang menjadi “kendaraannya”. "Partai gak terlalu penting, yang penting jadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan mendapatkan gaji" (perkataan sebagian politisi dadakan). Ini perilaku sebagian politisi kita belakangan ini. Ada yang gamang, ada pula yang ketagihan, semua ini menuntut mereka untuk mendapatkan kursi putar berlapiskan karet busa (spoon) di parlemen untuk jadi anggota Dewan yang terhormat. Yang ketagihan berpikir, jika partai lama tak lagi meliriknya, maka tinggal "lompat" ke partai lain yang bersedia memasukkan mereka jadi caleg. Trus bagaimana dengan politisi yang trade mark (berlable) kacangan, ikut-ikutan, yang gak pernah nyebut kata POLITIK, yang belajar, bahkan yang sarjana, kalau menang pada pemilu nanti, maka sebuah kehancuran akan melanda. Sebab ketika ditanya apa tujuannya menuju parlemen, jawaban yang ada pada setiap caleg adalah mewakili rakyat (anak saya yang SD saja tau kalau itu jawabannya). Tidak semua sih.!!. Belum lagi ketika ditanya apa Visi dan Misi partai yang mengusungnya. Jadi anggota Dewan mang enak sih.!!.

Migrasi politisi atau “kutu loncat” begitu sebutannya. Jelas bukan pujian, justru tersembul kekhawatiran. Bagaimana tidak, orientasi politisi kita ternyata hanya sebatas kursi di DPRD. Jangan tanyakan visi, misi, apalagi ideologi, karena sesungguhnya mereka tidak serius. Partai politik selalu berbeda satu dengan lainnya, paling tidak untuk urusan ideologi. Jadi kalau anda berpindah-pindah partai, maka orang bingung untuk menentukan apa ideologi Anda. Kiri-kanan oke, atau atas-bawah juga oke?
Di jagat raya ini, pindah dari satu tempat ketempat lain adalah hal yang biasa, tetapi yang perlu dijaga adalah “orientasi dan loyalitas” kita. Partai boleh A atau B, tapi loyalitas kita terhadap rakyat harus tetap dijaga dengan sepenuh hati. Pemeonya kurang lebih begini: loyal pada profesi bukan pada institusi.
Emang sih, setiap orang punya alasan untuk lompat (pindah) dari Partai A – ke Partai B, maka kita juga gak boleh asal nuduh aja. Berpindah partai khan untuk bisa dicalonkan pada posisi aman. Ingat, politik adalah seni menciptakan kemungkinan. Jadi tidak ada yang tidak mungkin, semuanya mungkin. Politik adalah seni membuat ketidakmungkinan menjadi mungkin. Nah, kalau tidak mungkin jadi caleg di partai yang lama, maka pindah partai saja biar tetap jadi caleg. Mungkin, kan? Lagi pula, berpindah partai juga menunjukkan politisi kita tetap loyal pada "profesinya,” ya itu tadi, menjadi anggota dewan. Mestinya Partai politik harus dituding. Peluang politisi pindah partai hanya terjadi kalau partai politik mau menerima. Bagaimana tidak untuk menerima politisi dari partai lain, soal dana, atau juga karena partai kekurangan kader "jagoan" untuk digadang-gadang jadi anggota dewan.

Partai politik adalah instrumen penting yang membangun sistem politik. Tak ada sistem politik moderen tanpa adanya partai politik. Partai Politik adalah mekanik untuk menjalankan sistemPartai untuk memperjuangkan banyak kepentingan. Termasuk juga bagaimana partisipasi rakyat dimasukkan dalam agenda politik bernegara. Dalam teori politik, partai politik merupakan kepanjangan kepentingan rakyat, setidaknya para konstituennya.

Teori ini menunjukkan pada kita, menjadi anggota partai sejatinya adalah tugas mulia. Mereka bersatu dalam payung yang sama: memperjuangkan cita-cita dan tujuan untuk kepentingan orang banyak. Itu sebabnya, demi partai banyak anggota yang rela mengorbankan tenaga dan hartanya. Mereka mau dan harus berkeringat, hingga menjadi politisi sejati. Partai juga harus mempunyai pola rekruitmen sedemikian rupa, sehingga hanya orang-orang pilihan yang akan menjadi kader andalan partai.

Tampaknya teori di atas telah ditinggalkan dunia politik kita. Manajemen partai yang amburadul membuka peluang bagi politisi kutu luncat tersebut. Tak perlu jadi kader yang berkeringat, cukup punya pengalaman di partai lain, maka Anda akan jadi kader partai dengan nomor jadi. Atau jadilah artis ngetop, maka nomor jadi akan menanti Anda dan siap diberikan partai politik.

Barangkali dari sekian institusi dimuka bumi ini, Dewan Perwakilan Rakyatlah yang paling enak. Seluruh fasilitas disediakan oleh negara. Tapi toh masih saja terdengar disana-sini “korupsi”. Telah banyak yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan tuduhan korupsi yang berakhir di dalam terali besi. Tapi berikutnya ketika terjadi hal yang sama, mereka biasa-biasa aja alias gak malu. Sebab, mereka berprinsip kami bukan yang pertama, sudah banyak yang telah ditangkap KPK dengan tuduhan korupsi.

Akankah polemik demokrasi di negeri ini akan berakhir..????... wallahualam…
Politisi Dadakan Menuju Pemilu 2009
Oleh : Achmadi Touwe
Pengamat Pemerintahan dan Politik Lokal
Universitas Al Asyariah Mandar

Hidup dengan bergelimang fasilitas adalah merupakan keinginan banyak orang (meski tidak semua) Parlemen (dari pusat hingga ke daerah) adalah merupakan pilihan dari sekian banyak alternatif yang menjadi trend bagi setiap orang menjelang PEMILU 2009, Hiruk-pikuk sudah bergema beberapa bulan terakhir. Kasak-kusuk sudah kerap terdengar. Itu semua tentang satu hal : siapa yang akan masuk dan disiapkan duduk di kursi DPR. Bukan kepada dengan melihat siapa yang kapabel untuk dipersiapkan dapat memperjuangkan visi dan misi partai. Gak usah berbicara sampai memperjuangkan apa yang menjadi kehendak rakyat pasti mereka gak bakal mampu bertarung dengan eksekutif.

Terjadi perebutan posisi nomor peci (calon jadi), sampai pada perolehan suara terbanyak masih menjadi bahan diskusi di kubuh partai. Belum lagi kritikan keras yang terlontar dari para (mantan) elit partai yang merasa terpinggirkan.

Sementara, dari pihak parpol menganggap ketidakpuasan dalam penempatan posisi daftar calon legislatif adalah hal biasa. Partai politik memiliki banyak alasan untuk menempatkan calon atau kadernya di nomor urut jadi. Salah satu syaratnya adalah mereka yang bisa memberi umpan balik bagi parpol pengusung agar mendapat simpati dan dukungan dari masyarakat. Banyak pihak diundang dan dipinang untuk masuk, mulai dari tokoh, aktivis hingga kalangan selebritas. Intinya agar dapat meraup suara sebanyak-banyaknya untuk dikonversi menjadi kekuasaan atau kursi di Parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat). Pertanyaan yang selalu mengusik, benarkah keberadaan mereka yang akan masuk kesana (parlemen) lebih karena dorongan idealisme.?. Ataukah rendahnya kepercayaan rakyat kepada anggota parlemen dalam keterpurukan. Meski bukan mustahil tetapi agak sulit untuk menerima alasan yang pertama.

Ongkos yang tidak sedikit untuk bersaing menuju Parlemen adalah salah satu hal yang tidak boleh dianggap entreng. Dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk ukuran normal, maka tidak jarang akan menjadi semacam "tagihan" di masa depan saat yang bersangkutan menjabat. Belum lagi adanya kekhawatiran kurangnya kapabilitas dalam menjalankan fungsinya. Maka, bisa jadi mereka sekadar pelengkap tidak penting -atau istilah anak sekarang, hanya ”nyampah” alias ”mesin politik”.

Kehadiran para politisi dadakan itu tidak terlepas dari adanya kesempatan dari partai politik yang memberi peluang untuk itu. Sebagai misal pelibatan para ”selebritis” oleh parpol di nomor jadi daripada kadernya sendiri, atau seorang cendekiawan dalam daftar calon legislatif, hal ini tentu dengan pertimbangan khusus dari partai politik yang bersangkutan.

Apakah nantinya jika terpilih sang calon mampu mengemban amanat rakyat dan membawa perbaikan bagi bangsa dan negara, itu soal nanti biasanya dengan alasan bisa sambil belajar, yang pasti kehadirannya di gedung parlemen sudah memberikan ’manfaat' bagi parpol pengusung. Kemampuan dan pengetahuan legislasi, pengawasan dan anggaran, akan menjadi tanggung jawabnya di parlemen, untuk itu rekam jejak sang calon menjadi tidak main-main. Tetapi hal semacam itu nampaknya tidak dianggap begitu penting asal masih bisa memberikan kontribusi bagi parpol pengusung -paling tidak menambah jumlah kursi DPR. Demi alasan jangka pendek untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan terlihat lebih mendesak. Belum lagi fasilitas yang melimpah bagi anggota DPR (pusat hingga daerah) semakin membuat bursa caleg begitu mempesona.

Kondisi ini mengingatkan film komedi The Distinguished Gentleman, yang dibintangi aktor Eddie Murphy dengan memerankan sosok anggota legislatif yang konyol. Bedanya jika anggota legislatif yang diperankan Eddie Murphy cuma dalam film, tetapi di sini berbondong-bondong para artis dan pemain komedi tidak lagi berperan tetapi benar-benar menjadi wakil rakyat jika mereka terpilih. Benarlah adanya pendapat jika pemilu 2009 menjadi sangat penting. Tidak saja pelaksanaannya tetapi juga apa yang akan dihasilkan.

Sabtu, 19 Juni 2010

DEMOKRASI DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH

Oleh : Achmadi Touwe
(Pengamat Pemerintahan dan Politik Lokal)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemilihan Umum (Pemilu) yang merupakan sebuah proses demokrasi (pesta demokrasi lima tahunan) yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil untuk menentukan arah perjuangan Bangsa dan Negara melalui hasil-hasilnya setelah melibatkan seluruh elemen bangsa yang merdeka, lepas dari intimidasi dan interpensi oleh pihak manapun. Pemilu bagi negeri ini bukan sesuatu yang asing untuk semua elemen bangsa (rakyat, politisi, birokrat) yang senantiasa bertarung untuk memenuhi hak politiknya (memperoleh dan mempertahankan kekuasaan politik). Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) Bab VII, Pasal 22E, (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, (2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pada konteks otonomi daerah, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) kemudian tertuang dalam UU 32 Thun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan payung hukum proses demokrasi (disamping UU Politik lainnya) - Pemilu Lokal - untuk menentukan pemimpin di daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada tingkatan pemilu lokal, pemilihan kepala daerah (pilkada) telah diselenggarakan. Sejak pelaksanaannya yang dimulai pada Juni 2005 telah banyak menuai (menimbulkan) berbagai permasalahan dalam tahapan-tahapan penyelenggaraannya. Kewenangan yang diberikan seluas-luasnya dari Pemerintah (Pusat) kepada Pemerintah Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) adalah sesuatu hal yang “semu”, yang pada gilirannya menimbulkan berbagai persoalan baru di Daerah.
Kegamangan oleh para elit untuk mencapai tujuan politiknya dalam penyelenggaraan pemilu di Daerah sangat berpengaruh terhadap kinerja, eksistensi, indevendensi penyelenggara pilkada yang kemudian menjadi “pemicu” atas kekisruhan (kekacauan) pada proses maupun pasca pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung yang menelan biaya tidak sedikit pada berbagai daerah terkesan sia-sia walaupun hasilnya (proses demokrasi lokal) dapat menghasilkan pemimpin di daerah, namun “produknya” tetap saja diwarnai oleh kekisruhan. Kesan seperti ini seakan mengatakan bahwa “demokrasi telah dicaplok”. Sebagaimana dikatakan oleh Ahmad Sudirman, dalam RESOLUSI, Jurnal Pemikiran Kaum Muda Sulawesi Selatan, edisi 01, DPD. KNPI Sulawesi Selatan, tahun 2005, bahwa : Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di sepuluh Kabupaten di Sulsel “babak belur”. Berbagai intrik dan kekisruhan mewarnai suksesi Bupati pertama secara langsung ini. Akibat desakan masa dan rongrongan aksi unjuk rasa, lima anggota KPUD Tana Toraja mengancam mengundurkan diri, empat anggota KPUD Pangkep yang masih aktifpun diminta diganti oleh anggota DPRD setempat. Anggota KPUD Gowa harus duduk di kursi pesakitan Pengadilan Negeri Gowa karena dilapor telah melakukan pelanggaran dalam pilkada. Inilah rentetan kekisruhan pilkada di Sulawesi Selatan.
Di daerah ini (Sulawesi Barat), yang menobatkan diri sebagai Masyarakat Malaqbi, hasil pemilihan Gubernurpun tak luput dari kekisruhan. Belum lagi hasil Pilkada Gubernur Sulawesi Selatan tahun 2007. Semua rentetan persoalan Pilkada Langsung tersebut adalah sebuah gambaran tentang “Matinya Mata Hati Elit Politik” (Benny Susetyo, Hancurnya Etika Politik).
Pertanyaannya kemudian, Akankah pesta rakyat daerah ini dicabut kembali hanya karena ketidak profesionalan penyelenggara, para actor politik dan partai menyikapinya ??....... Wallahualam.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas maka penulis dapat merumuskan permasalahan yang terjadi pada berbagai daerah dalam menyelenggarakan proses demokrasi.
1. Kapasitas dan kapabilitas penyelenggara pemilu di Daerah tidak sesuai dengan apa yang diinginkan dalam berbagai regulasi yang berhubungan dengan proses pemilu lokal.
2. Para elit lokal yang tampil dalam konteks pilkada langsung tidak mampu menciptakan “sintesa politik baru” untuk mencapai tujuan politiknya.
3. Para elit terkesan sangat pragmatis dan tidak legowo dalam menerima kekalahan dalam pilkada langsung.
4. Ketidak dewasaan Partai Politik dalam melakukan komunikasi, recruitman, dan bahkan pendidikan politik terhadap rakyat tidak berfungsi.

BAB II
PEMBAHASAN
(Demokrasi Dalam Konteks Otonomi Daerah)
A. Demokrasi
“Demokrasi”, secara etimologi dapat bermakna “kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat” (rakyat berkuasa). Dari negeri asalnya (Yunani), bahwa demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa (Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik). Dari makna ini bahwa demokrasi yang senantiasa kita dengar adalah merupakan proses kedaulatan rakyat dalam pemenuhan hak politik oleh setiap individu. Rakyatlah yang berdaulat, rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi. Sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan KPU No 13 Tahun 2007, tentang Pedomana Pelaksanaan Seleksi dan Penetapan Anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, bahwa Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dari berbagai regulasi sebelumnya juga telah diamanatkan demikian. Tetapi pada kenyataannya proses pelibatan rakyat dari waktu ke waktu, dalam proses demokrasi (Pemilu) belum optimal, rakyat sebatas dijadikan obyek eksploitasi kepentingan elit untuk mencapai ambisi kekuasaan, yang pada gilirannya tidak memberi kemanfaatan bagi pemilik kedaulatan itu sendiri.
Berbicara mengenai proses demokrasi (Pemilu) dapat dilakukan dengan dua cara, yang pertama, melalui sudut pandang politik. Pemilihan umum dan partai politik yang merupakan perwujudan dari adanya demokrasi, dimana rakyat dapat berpartisipasi dalam menentukan jalannya pemerintahan dengan ikut pemilihan umum, untuk memilih wakilnya yang dapat mengakomodasi kepentingannya, dan dengan cara memilih partai politik yang sesuai dengan keinginannya. Dan yang kedua, Jika kita lihat dari sudut Hukum Tata Negara maka kita mencoba melihat bagaimana aturan main dalam melaksanakan pemilihan umum dan tentang partai politik. Masalah pemilihan umum dan tentang partai politik di Indonesia, jika dilihat dari paraturan perundangan-undangan baik yang pernah maupun yang sedang berlaku, selalu mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan dan keadaan, juga dipengaruhi pula dengan keadaan rezim yang berkuasa saat berlakunya suatu undang-undang politik. Terkadang peraturan perundangan tersebut digunakan untuk menggulingkan suatu partai atau kelompok yang dianggap membahayakan rezim (penguasa) yang berkuasa pada saat itu (Prof. Abdul Bari Azed, SH., MH. dan Makmur Amir, SH., MH., Pemilu & Partai Politik di Indonesia).
Partai politik sebagai wadah partisipasi politik rakyat dalam pemilihan umum, untuk menyalurkan aspirasi, memperoleh dan mempertahankan tujuan politik untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan-kebijakannya melalui kekuasaan. Sebagaimana dikatakan oleh Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik dan Perspektifnya, bahwa Partai politik adalah :
1. Partai politik merupakan suatu organisasi yang melakukan kegiatan-kegiatan politik dalam suatu masyarakat.
2. Partai politik mencurahkan perhatian untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintah dalam menjalankan kekuasaanya.
3. Partai politik berusaha mendapatkan dukungan dari berbagai kelompok dan golongan dalam masyarakat yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda.
4. Partai politik merupakan lembaga perantara yang menghubungkan antara kekuatan-kekuatan social dan ideology yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dengan pejabat-pejabat pemerintah maupun lembaga-lembaga kenegaraan.
Di negeri (Indonesia) yang sejak awal (Pemilu 1955) yang sangat panatik dengan system multi partai, kehidupan demokrasi tidak berjalan sesuai makna dari kata demokrasi itu sendiri. Tumbuh dan berkembang dalam suasana carut marut (tidak bermakna). Hal ini sebenarnya juga menunjukkan bahwa system multy partai sesungguhnya tidak efektif dan efisien diterapkan dalam mengusung demokrasi di Indonesia. Sebab partai politik yang tumbuh ibarat cendawan di musim hujan hanya karena alasan geografis, keragaman suku, dengan latar belakang kultur yang berbeda.
Dilihat dari sejumlah aspek, pembentukan partai politik baru pada era sekarang ini lebih memiliki tujuan yang praktis, bukan tujuan ideal, yaitu sebagai wahana untuk mengartikulasi berbagai kepentingan dan memperebutkan kekuasaan politik. Bahkan, dengan melihat berbagai sepak terjang dan manuver politik yang dilakukan tokoh sentralnya, tampak jelas ada sebagian partai yang didirikan dengan tujuan untuk mengukur sejauh mana tokoh-tokohnya masih memiliki pengaruh politik, dan sebagian lagi sekadar alat untuk bisa menghimpun dana politik. Hal ini agak berbeda dengan tujuan pembentukan partai pada masa awal kemerdekaan. Pembentukan partai pada masa itu merupakan mekanisme yang tepat untuk mengukur kekuatan perjuangan bangsa Indonesia yang baru merdeka (Saifullah Ma’shum, KPU dan Kontroversi Pemilu 1999).
Sementara revolusi membawa tuntutan yang besar kepada perubahan system dan kehidupan politik di Indonesia, masyarakat sendiri masih mempunyai kapasitas yang relative rendah untuk bisa melayani segala perubahan tersebut. Masyarakat yang secara minimal memperoleh kesempatan untuk mengenal berbagai system politik di dunia ini dan mencoba mengurus diri sendiri dengan mempraktekkan salah satu atau kombinasi dari berbagai system yang dikenalnya; di dalam waktu yang singkat sekaligus dihadapkan kepada tanggungjawab untuk mengatasi segala keterbelakangannya. Demikian halnya dengan partai politik (Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia).
Pada konteks politik lokal, gambaran tersebut di atas adalah merupakan penyebab terjadinya konflik berkepanjangan (kekisruhan) Apalagi menjelang, dan bahkan setelah ditetapkannya hasil Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) langsung – baik antar pendukung maupun para elit dalam proses politik.

B. Otonomi Daerah
Dalam membincang (mengemukakan) tentang otonomi, hendaknya tidak sekadar mengambil alih pengertian otonomi yang dikembangkan secara politik dalam kehidupan bernegara. Otonomi yang dimaksudkan disini adalah istilah dengan pengertian lebih luas. Otonomi adalah sikap mental yang merasa merdeka, tidak terbelenggu secara mental psikologis melakukan usaha-usaha preservasi, pengembangan serta usaha-usaha inovasi kebudayaan.
Pembicaraan mengenai “otonomi daerah” juga tidak bisa dilepaskan dari asas desentralisasi yang menjadi landasan bagi pembentukan pemerintah daerah. Desentralisasi adalah prinsip pembelahan wilayah satu Negara ke wilayah-wilayah yang lebih kecil, dan di wilayah-wilayah itu dibentuk institusi politik dan institusi administrasi untuk melayani kebutuhan orang atau masyarakat di satu tempat. Hal ini penting dilakukan sebab pada dasarnya pemerintah melaksanakan tiga fungsi dasar yaitu service, regulation, dan empowerment dengan maksud mengantisipasi kebutuhan masyarakat secepat, sedekat, dan setepat mungkin (Abdul Gaffar Karim, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia).
Untuk mewujudkan semua ini, maka pemerintah memberikan otonomi kepada pemerintah daerah agar semua itu dapat terlaksana secara efektif dan efisien berdasarkan nilai-nilai local untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pertanyaannya kemudian, apakah kebijakan ini juga akan mendukung penguatan civil society dan mendukung kesadaran kolektif masyarakat terhadap pembangunan nasional..??.. Jawaban dari pertanyaan di atas seakan masih menjadi misteri yang masih harus dicari dan dikaji lebih lanjut. Jika dilihat dari perjalanan otonomi daerah ada kecenderungan pemaknaan otonomi daerah identik dengan rejim politik yang sedang berkuasa, hal ini sebagaimana digambarkan oleh Sri Djaharwinarlien, Otonomi : Peluang atau Beban Daerah (Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia)
Dari sisi lain dapat kita lihat, bahwa kewenangan daerah yang semakin besar tanpa dibarengi dengan pemahaman yang benar tentang otonomi daerah, dapat dipastikan akan memunculkan berbagai sikap; egoisme daerah semakin tinggi, yang dapat menurunkan solidaritas daerah dan merangsang munculnya konflik kedaerahan (regional). Dan ini adalah salah satu bentuk kekeliruan yang juga dapat mencipkan arogansi dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerah.
Pada pentas politik local, telah tergambar arogansi kedaerahan, dimana recruitmen pemerintahan (PNS, Gubernur, Bupati/Walikota, dan Legislatif Daerah) hanya dilihat dari sisi putra daerah dan bukan putra daerah (pri – nonpri) untuk mengisi kekosongan itu. Penapsiran seperti ini juga mempunyai andil terciptanya disintegrasi bangsa. Dan ini sangat dikhawatirkan beberapa pakar, bahwa akan muncul raja-raja kecil di daerah.

BAB III
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Implementasi otonomi daerah, sejauh ini hanya, menghasilkan preseden buruk, karena dalam pengimplementasiannya tidak diiringi dengan prinsip-prinsip demokratisasi. Akibatnya, sejumlah kepala daerah yang telah dihasilkan (kepemimpinannya), berubah wujud hanya menjadi raja-raja kecil di daerah, untuk memanfaatkan peluang dalam pemenuhan kepentingan dirinya, yang justru melukai prnsip-prinsip dasar dan asas yang dikandung otonomi daerah dan demokratisasi itu sendiri bagi kedaultan rakyat.
Kata demokrasi senantiasa dikumandangkan oleh setiap elit dalam proses apapun, tetapi pada kenyataannya rakyat sebatas dijadikan obyek eksploitasi kepentingan orang-orang untuk mencapai ambisi kekuasaan, yang pada gilirannya tidak memberi kemanfaatan bagi pemilik kedaulatan itu sendiri. Prinsip demokrasi hanya sebatas jargon-jargon politik untuk menina-bobokkan rakyat.
Kekisruhan yang senantiasa terjadi baik dalam proses maupun pada pasca hasil pemilu senantiasa dipicu oleh penyelenggara pemilu, hal ini diakibatkan oleh karena ketidak profesionalan penyelenggara. Dan lebih diperparah lagi oleh adanya interpensi oleh para elit politik .
Pembentukan civil society yang difasilitasi dengan kantor, peralatan, perpustakaan dan pelatihan-pelatihan akan dapat mempercepat pemahaman masyarakat terhadap otonomi daerah dan sekaligus dapat dijadikan alat pengawasan bagi penyelenggaraan otonomi itu sendiri. Civil society yang kuat dan dapat mengimbangi public sector diyakini akan dapat mempercepat terwujudnya Good Governance. Sedang Civil Society yang kuat dan dapat mengimbangi sector bisnis, Public Sector diyakini akan dapat mempercepat terwujudnya Good Corporate Governance.
C. Saran
1. Perlu dibuat suatu Undang-Undang politik yang benar-benar dapat mengatur tentang pemilihan umum dan partai politik untuk mengakomodir segala kepentingan rakyat dalam partisipasi politik.
2. Aspirasi otonomitas, serta vitalitas masyarakat yang telah diperlihatkan selama ini perlu terus dibina dan diarahkan oleh badan-badan kepemerintahan maupun badan-badan swadaya masyarakat yang selanjutnya akan membakukannya (standardisasi). Usaha standardisasi perlu terus didukung untuk melestarikan bentuk-bentuk budaya yang telah dicapai dan dikreasi sendiri maupun yang diserap dari budaya lain yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup masyarakat yang terus berkembang.
3. Untuk menghasilkan seorang kepala daerah yang profesional dan legitimated, tidak ada cara lain kecuali melakukan pemilihan kepala daerah langsung (pilkada) . Meskipun terjadi kekurangan disana sini, pilkada langsung masih merupakan pilihan terbaik dari semua cara yang sesuai dengan kultur politik Indonesia dengan masyarakat mejemuk yang menghendaki transparansi dan legitimasi yang tinggi bagi seorang pemimpinnya, setelah sekian lama kita dipaksa untuk membeli kucing dalam karung. Dimasa lalu, hampir tidak pernah bergaris lurus antara siapa yang dikehendaki rakyat, dengan siapa yang dipilih wakil kita di DPRD.

Senin, 14 Juni 2010

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Diujung utara bagian Barat Sulawesi Selatan, atau SULBAR sekarang terletak antara 1 drajat LU dan 3 drajat LS terdapat suatu daerah yang pada zaman Hindia Belanda termasuk Wilayah Pemerintahan Pusat bernama Afdeling Mandar, yang dikepalai oleh Asisten Residen. Afdeling Mandar di bagi atas Empat Onder Afdeling yang terdiri atas : Majene, Mamuju, Polewali dan Mamasa, dimana masing-masing Onder Afdeling dikepalai oleh seorang Controleur.
Sebelum penjajahan Hindia Belanda, daerah ini sudah sejak lama diperintah oleh raja-raja asli Indonesia yang masing-masing merdeka dan berdaulat dalam wilayah kerajaannya. Kerajaan di Daerah Mandar hampir seusia dengan kerajaan lainnya di Indonesia pada umumnya dan Sulawesi Selatan pada khususnya, seperti : Luwu, Gowa, Bone yang berdaulat penuh.

1. Pendiri Kerajaan Balanipa
Secara teratur ialah “I Manyambungi” sekitar abad ke-XVI, namun diduga (menurut mitos), jauh sebelumnya dalam abad VI masyarakat Mandar sudah diatur oleh Nenek Moyang Imanyambungi (Todilaling), yaitu Tomanurung Tobisse Ditallang dan Tokombong Di Bura.
Secara turun temurun diurus oleh Tobisse Ditallang Ilando Guttu, Usu Sambambang, To’padorang, Tasudidi, Pongkapadang, Tometteenbassi, Daeng Lumale, I Lamber Susu, Tomipani’ Bulu, Tobittoeng, Toketara(Nenek Imanyambungi), Dan Puang Di Gandang (Ayahanda Imanyambungi), sampai pada Imanyambungi sendiri, kesemuanya berasal dari Ulu Salu.

2. Menurut Terjemahan Lontar Pattodioloan Di Mandar
Lontarak 1 : Drs. M.T. AZIS SYAH
Uru polena Todilaling di Gowa anna’ soremo diaja di Labuang roapong anna’ nade’de mi gong, nairanngimi to Pambusuang, nauwammi: “ta’ta (b.bi) lowe apai tia lain-lain moni lailaing jirris.
Nauamo Todilaling : Innapatunna Mara’dia Lenggo??
Nauwami Tonapo: “Indi dio!” Messummi domai, mendai’mi da’dua siola. Polei dai’ naratumi, matemi.

Ia tomo umbawa doe disanga: Inaga Ewangan di sanga Itata mappadiammi diaja anna’ tatallu. Mesa mottong di Tanete, da’duadami lambi’, mesa tommuane, mesa tobaine memmoane tama di Alu napibaine Mara’dia Alu apa tommuane iami di pa’uanan: “Tomepayung”
Nabetai pambusuang malaimi dai’ di Napo. Diajai di Napo anna nabundumo Lopo’ nabeta boi Lopo’ apa da’na pe’mannami naung Tande-Tande di Banggae.

Apponamo namanna’ napebei tomo dai’ to Pu’awang di Maasar betanamo Lopo’ iatomo umbetai Panyarukang, Iamo Tobatu. naparola nasammitia Todilaling inngganna di dalambuttu. Di polong pau.

Mesa lontara mappau ma’uwa, tipateng di’e uru polena diomi ummonro dilabuang landi anna nabundu’ Pambusuang.


ARTI DALAM BAHASA INDONESIA.
Sekembalinya Todilaling dari Gowa dan mendarat di Labuang Roppong lalu menabu gong. Terdengarlah oleh masyarakat Pambusuang. Berkatalah: “Tobelawe, apa gerangan yang aneh bunyinya, dan tidak biasanya”.
Bertanya Todilaling: “dimana tempatnya raja di Lenggok”?.. Jawab orang Napo “Disana” ia turun dari perahu dua berteman setibanya langsung ia tombak dan meninggallah.
Ia pula yang membawa tombak Inaga Ewangan nama Itata. Disana dia melahirkan anak tiga orang. Satu tinggal di Tanete diperistrikan Raja Tanete. Dua orang tiba di mandar. Satu pria satu wanita bersuami di alu, di peristrikan Raja Alu. Yang pria bernama: “Tomepayung”.
Setelah Pambusuang dikalahkan,, beliau pindah ke Napo. Disana ia serang pula Lopoq. Begitu Lopoq dikalahkan beliau melanjutkan serangannya ke Tande-Tande di wilayah Banggae.

Turunan mereka dikuasai To Puawang diserahkan ke Makassar ketika Lopoq kalah. Beliau pula mengalahkan Panyarukang, yaitu To Batu. Seluruh wilayah pegunungan di taklukkan oleh Todilaling. Sampai sekian pembicaraan.

Sebuah lontarak menerangkan begini. Mula-mula ia tiba bermukim di Labuang Landi dan memerangi orang Pambusuang.

Sebelum terbentuknya kerajaan balanipa ini negeri-negeri yang ada ialah: Napo, Samasundu, Todang-Todang, Mosso yang masing-masing berdirisendiri. Keempat negeri inilah di diami oleh orang tua I Manyambungi sekeluarga. Dan keempat negeri inilah kemudian di persatukan I Manyambungi sebagai suatu persekutuan adat dengan ibu negerinya Napo.

B. Pengertian Mandar dan Balanipa
1. Pengertian Mandar
Mandar” menurut bahasa “manda” atau mandar, artinya kuat.
Pada umumnya bahasa yang digunakan oleh masyarakat di pegunungan tidak memakai konsona“r”,
misalnya liter disebut lite, meter disebut mete Ma’asar disebut Maasa. Malah masa dulu
orang Napo, Mosso, Todang-Todang menyesuaikan diri dalam bahasa Mandar pantai misalnya
mengatakan: me’oro (duduk), mereka menyebut me’oho. Ro diganti ho artinya. Karambo
disebutnya kahambo artinya jauh (Azis Sah).
Menurut Darwis Hamzah, bahwa Mandar berarti air atau sungai. Pengertian ini sama
pengertian terdahulu, sebab menurut orang-orang Mandar, air atau sungai itu sangat kuat
(manda’)
Sungai pada zaman dulu adalah satu-satu jalan raya dapat dilalui transportasi dengan
memakai rakit yang di buat dari kayu, bambu, batang pisang dan lain-lain. Diikiat jadi
satu kesatuan. Rakit tersebut selain mengangkut manusia juga digunakan untuk mengangkut
barang-barang, Betapapun derasnya (kuatnya) air itu, namun mampu diarungi untuk membawa
manusia dan barang-barangnya mondar-mandir dari muara ke hulu.
Kemudian mereka memanifestasikan jiwa orang Mandar lemah lembut, namun dibalik
kelembutannya terselubung kekuatan (power) yang sulit diukur.

2. Pengertian Balanipa.
Balanipa terdiri dari dua kata yaitu bala dan nipa. Bala= kandang dan nipa= semacam pohon
enau yang tumbuh di rawa-rawa.
Bala (kandang) nipa (sebuah arena yang sekelilingnya terbuat dari daun nipa) berfungsi
sebagai tempat menyabung manusia yang berselisih. Yang bersangkutan dimasukkan kedalamnya
(laki-laki). Siapa terluka dahulu atau mati itulah yang bersalah. Demikianlah pelaksanan
hukum duel di balanipa. Kalau perempuan yang berselisih maka penyelesaiannya disiapkan
kuali besar yang berisi air/minyak mendidih, kemudian yang bersangkutan diperintahkan
mencelupkan tangannya kedalam kuali tersebut. Barang siapa yang takut mencelupkan
tangannya berarti dia yang dikalah. (dianggap bersalah).
Pelaksanaan hukum tersebut sebelum I Manyambungi menjadi Raja di Balanipa.

Setelah Appe Banua Kaiyang (empat negeri besar) yaitu masing-masing:
Napo, Samasundu, Mosso, dan Todang-todang digabungkan menjadi satu persatuan adat oleh I
Manyambungi diberikan nama sesuai dengan tempat memutuskan perkara itu ialah Balanipa.
Balanipa dari waktu ke waktu mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pertumbuhan
penduduk dari waktu ke waktu makin berkembang disusul datangnya berbagai penduduk dari
negeri lain untuk bermukim disana. Hal itu terjadi, setelah diketahui bahwa hukum duel itu
sudah tidak diberlakukan lagi dan diganti dengan hukum adat. Dimana hukum adat itu
bertolak dari:
“oro wali-wali
Tutu wali-wali
Sa’bi wali-wali
Anna timbang wali-wali”
Artinya: “ kedua belah pihak dihadapkan, dan keduanya dimintai keterangan saksi-saksi
kedua belah pihak, kemudian dipertimbangkan semasak-masaknya.”
Prosedur hukum itulah yang dipakai oleh raja-raja Balanipa berikutnya secara turun-
temurun. Ini membuktikan pada kita, bahwa hukum formal telah diterapkan dalam memutuskan
sebuah perkara.
Setelah I Manyambungi mangkat, beliau dianugerahi rakyat dengan gelar “todilaling”
(ada dua versi). Dan digantikan oleh putranya yang bernama “Tomepayung” (ibunya orang
Makassar) sebagai raja ke-2. Raja ini memiliki kecakapan yang luar biasa dalam mengatur
pemerintahan, beliaulah yang menyusun struktur pemerintahan dengan: 10 menteri atau dewan
bangsawan yang dipimpin oleh Mara’dia Matoa sebagai perdana menteri. 10 dewan bangsawan
itu disebut: “ada’ sappulo”, sekaligus merangkap sebagai anggota konstituannte yang
ditetapkan oleh Appe Banua Kaiyang, yang berfungsi memilih, mengangkat dan memberhentikan
raja dan ada’ 10 sokko. ini berarti bahwa pemerintah kerajaan di Mandar sudah melaksanakan
dasar-dasar demokrasi sejak abad ke-16.

Selain ada' 10 sokko, ditetapkan pulah seorang Mara’dia Malolo sebagai panglima perang
yang langsung memimpin appe jannangan (empat jenis kesatuan pasukan yang disebut):
1) Annangguru pakkawusu’= pasukan berani mati
2) Annangguru passinapa’= pasukan bersenapan
3) Andongguru pa’burasang= pasukan penyumpit
4) Andongguru joa= pasukan pengawal istana
Unuk melaksanakan pembangunan fisik, ditetapkan pula yang disebut “sakka manarang” untuk
mengurusi bea keluarnya perahu yang mengangkut barang dagangan, diadakan pulah sebuah
lembaga yang disebut “sawannar”=syahbandar. Tomepayung tidak cuma ahli dibidang
pemerintahan dalam negeri, tetapai juga ahli dibidang hubungan luar negeri.
Tomepayung juga yang melaksanakan Mu’tamar Tammajarra (diatas puncak gunung tammajarra),
terletak kurang lebih 5 km sebelah utara timur laut kota Tinambung.
Muktamar tersebut dihadiri oleh:
a. Tomepayung dari kerajaan balanipa
b. Puatta Iku’bur dari Kerajaan Sendana
c. Puatta Ikaranamu’ dari Kerjaan Tappalang
d. Daeng Tomelanto dari Kerajaan Banggae
e. Tomelake Bulawang dari Kerajaan Pamboang
f. Tomejammeng dari Kerajaan Mamuju

Dalam muktamar inilah disepakati persekutuan kekeluargaan yang beranggotakan 6 (enam) kerajaan.

Kemudian Mara’dia Balanipa menjadikan Binuang penggenap 7 (Pitu) Ba’babinanga atas penyerahan Raja Gowa kepada Balanipa setelah berakhirnya perang Gowa-Bone (muktamar memupuk persatuan dan kesatuan pitu ba’banabinanga).
Pada muktamar itu pula, menetapkan bahwa “naiyya balanipa sambolangi atau amai balanipa (ibarat langit=ayah), sedangkan sendana litai ato indoii (sendana ibarat lita=indooi).
Naiyya banggae ana’ masonga-songanai balanipa (banggae adalah putera pemberaninya balanipa).
Naiyya pamboang anak tobainenai balanipa (pamboang adalah anak puterinya balanipa, sedang yang lain belum diberi fungsi karena masih kecil.
Maksud penamaan tersebut diaas adalah:
Balanipa sebagai ketua
Sendana sebagai wakil
Banggae sebagai sayap kanan
Pamboang sebagai sayap kiri, dan yang lainnya sebagai anggota .

Bila ada sesuatu permasalahan yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh anggota, maka banggae dan pamboang yang akan menyelesaikn. Jika belum juga selesai , maka sendana yang akan menyelesaikannya. Kalaupun belum juga selesai, maka putuslah oleh balanipa, karena keputusan tertinggi ditangan balanipa.


KERAJAAN-KERAJAAN LOKAL DI MANDAR

A. Dipitu ba’bana Binanga (mandar bagian pantai)
Pembentukan suatu kerajaan dipitu ba’bana binanga (mandar bagian pantai) pada umumnya sama, yaitu didirikan oleh beberapa negeri persekutuan adat, misalnya Kerajaan Balanipa terdapa 4 negeri yang disebut 4 banua kaiyang (empat negeri besar) yaitu Napo, Samasundu, Mosso, Todang-Todang, dimana masing-masing negeri mempunyai kepala pemerintahan sendiri yang merupakan pemangku adat setempat bergelar Pappuangan.
Sebagai pucuk pimpinan kerajaan yang dipilih dan diangkat seaorang raja yang bergelar maradia dan pemangku adat (pappuangan) mula-mula terdiri dari satu atau dua orang anggota yang dinamai hadat dan bergelar pa’bicara atau lain-lain nama menurut keadaan setempat, sehingga kebijaksanaan jalannya pemerintahan tertinggi kerajaan itu tidak berada dalam tangan kekuasaan seorang raja, akan tetapi selalu menegakkan azas musyawarah untuk mufakat antara raja dan hadatnya yang menurut adat dikatakan “andiangi mala sisara’ ulu anna salakkana” (artinya tidak boleh bercerai kepala dengan kerangka badan) maksudnya raja tidak boleh mengambil keputusan permufakatan dengan hadatnya.
pada pengangkatan raja dan hadat yang pertama (kerajaan itu mulai dibentuk), terdiri dari bangsawan-bangsawan yang bersaudara atau family dekat antara sattu dengan yang lainnya. Tetapi setelah ia diangkat dalam jabatan pertama itu sebagai maradia atau anggoa adat diadakan sutu penggarisan (perjanjian)
-kaiyang tammacinna di kende-kende.( yang besar tidak ingin kepada yang kecil)
-kende-kende ammacinna di kaiyang. (yang kecil tidak ingin kepada yang besar)
Maksudnya: keturunan maradia tidak akan merampas hak jabatan untuk turunan anggota hadat dan ketrunan anggota hadat tidak akan merampas hak untuk jabatan keturunan Maradia.

Maradia dan keturunannya diberi panggilan (sapaan) kehormatan “daeng” dan anggota hadat panggilan “puang”. Hal ini mempedomani sopan santun berbicara antara “todilaling” (raja balanipa yang pertama) dengan “puang dipoyosang” (anggota hadat yang pertama digelar pappuangan limboro) di kerajaan balanipa.
masing-masing kerajaan yang terbentuk tersebut terjadi perluasan wilayah kerajaan apakah dalam bentuk penaklukan, persetujuan bersama antara kerajaan/negeri (kerajaan yang lebih kecil untuk bergabung aau atas permintaan sendiri dari negeri/kerajaan kecil untuk bergabung, diantaranya ada pula yang kepala pemerintahannya (pappuangan) dijadikan anggota hadat dalam kerajaan (sehingga digelar pepuangan, sehinggah bertambahlah anggota hadat misalnya:
Pepuangan tenggelang, pepuangan luyo, pepuangan lambe, pepuangan lakka pepuangan koyang di balanipa dll.
ada pula negeri menjadi bawahan dari salah satu banua kaiyang (negeri pembentuk kerajaan) dan dinamai anak banua, serta ada pula negeri kecil yang mempunyai hak otonomi dalam negerinya sendiri yang mempunyai kewenangan tertentu terhadap kerajaan, misalnya campalagian, mapilli tapango dan lain-lain dibalanipa sehingga didalam wilayah kerajaan ada negeri-negeri yang bernama:
-banua kaiyang (negeri asal atau negeri-negeri pembentuk kerajaan atau=kernland)
-banua (negeri yang pada mulanya berdiri sendiri)
-anak banua (negeri bawahan dari salahsatu banua kaiyang atau banua)
-perkampungan-perkampungan khusus (yang didiami oleh maradia bersama kelurga dan
petugas-petugas khusus pada kerajaan)

Dalam perkembangan kerajaan selanjutnya, diadakan anggota hadat yang tugas sehari-harinya khusus urusan istana, artinya bukan kepala pemerintahan suatu wilayah tertentu, misalnya: pa’bicara kaiyang, pa’bicara kenje, pappuangan rui (balanipa) atau suro di kerajaan lain
pemilihan dan pengangkatan serta pemberhentian (pemecatan) maradia (raja) oleh banua kaiyang/wilayah asal (krenland), kemudian disahkan/disetujui dari dewan hadat, proses tersebut diurus oleh anggota hadat pepuangan limboro dibantu oleh pepuangan biring lembang. Disamping anggota hadat oleh maradia (arajang) mengangkat seorang maradia matoa sebagai wakil raja dalam “peannangguanna hadat” (penasehat hadat) dan diangkat seorang maradia “malolo” yang ditugasi sebagai panglima kelasykaran.
kedua maradia tersebut (maradia matoa dan maradia malolo) adalah dari keturunan yang sama dengan maradia (raja) sendiri. Pengankatan dan pemberhentian adalah ditangan raja atas persetujuan dewan hadat.
pengangkatan masing-masing anggota hadat (pepuangan) dan pappuangan atau maradia dari tiap-tiap banua kaiyang, banua atau anak banua, dipilih oleh pemangku-pemangku adat bawahannya masing-masing dan disahkan oleh pemerintah kerajaan, semuanya dari calon-calon yang bersal keturunan dari pejabat terdahulu, baik dari bapak maupun dari keturunan ibu. Oleh karena itu pengangkatan seorang raja berasal dari keturunan raja (anak pattola payung) yang harus disetujui oleh dewan hadat sedangkatan pengakatan salah seorang anggota hadat harus dari anak pattola hadat, maka harus di setujui oleh maradia bersama anggota hadat, sehingga diharapkan selalu terjalin dan terpelihara pergaulan yang baik sesuai dengan pesan-pesan orang –tua, menurut ucapan hadat kapada raja sebagai berikut:
“upakayyango’o mupakaraja’, madondong duang bongi anna marattaso’o wake maruppu-ruppu’ bau, uwalai mimbali akayyangan”
Artinya: “engkau diangkat menjadi orang terhormat, tetapi engkau memuliakan kami, besok lusa engkau berlaku tidak senonoh dan berbuat sesuatu yang merusak dan menghancurkan negeri, maka saya ambil kembali kebesaranmu”.
Pengangangkatan seorang anggota hadat ditandai dengan pelantikan yang acaranya antara lain: “dipisokko’i (dipasang mahkota/kopiah kebesaran diatas kepalanya) oleh “tomabubeng” (jabatan adat yang juga bersifat turun temurun) dan “ditindorri” (diarak) menuju istana raja oleh pejabat-pejabat adat bawahannya dan kaum kerabatnya aau rekan anggota hadat lain.
Pengesahan pengangkatan seorang raja ditandai dengan upacara “diparakkai” dan diantara acara yang paling penting adalah “assitalliang” (perjanjian lisan dihadapan umum antara raja yang dilantik dengan salah seorang anggota hadat tertentu (balanipa oleh pepuangan limboro) sebagai mewakili hadat dan rakyat . “assalliang” tersebut sebagai berikit:
Maradia Balanipa: malebu parri’di’ mo’o? (sudakah kalian bulat seperti alu?)
Pappuangan limboro: malewu parri’dimang (kami sudah bulat seperti alu)
kemudian menyusul pertanyaan-pertanyaan maradia berturut-turut Sbb :
- jari lappar, lapparrumo? (jadi dataran rendah, datarankulah?)
Buttu buttu’u mo? (gunung, gunungkulah?)
Sasi’ sasi’umo? (lautan, lautankulah?)
Tau, tau’umo? (orang, orangkulah?) – rakyat

- Iri’ma, anna daung ayu mo’o? Saya angin, dan engkaulah daun kayu?)
Pepuangan limboro menjawab:
“o diada dibiasa (sepanjang sesuai adat dan kebiasaan)
Rarumma’anna buttang mo’o (aku adalah jarum dan kalian adalah benang)
“o diada dibiasa (sepanjang sesuai adat dan kebiasaan)

Setelah pelantikan dan pengucapan janji, pepuang limboro sebagai wakil rakyat yang dituakan, menyampaikan amanah amanah rakyat sebagai berikut:
“naiyya maradia tammatindoi dibongi, tarrare diallo, na mandandang mata”
- Dimamatanna daung ayu
- Amalimbonganna rura
- Diamadinginna lita’
- Diayarinna banne tau
- Diaepuanna agama

Struktur Pemerintahan Kerajaan Balanipa Dan Fungsi-Fungsi Pejabatnya
Kerajaan Balanipa menganut system pemerintahan kerajaan demokratis, dimana kerajaan ini di perintah oleh suatu dewan kerajaan yang terdiri dari 2 (dua) komponen yaitu:
1. Mara’dia
a. Maradia atau arajang balanipa, sebagai raja/ketua pemerintahan
b. Maradia matoa, sebagai wakil raja
c. Maradia malolo, sebagai panglima kelasykaran (angkatan perang)
2. Hadat
Hadat atau seipuang sebanyak 10 orang (sappulo sokko) terdiri dari atas 2 (dua) bagian:
Bagian i.
1. Pa’bicara kaiyang
2. Pa’bicara kenje
3. Pappuangan limboro
4. Pappuangan biring lembang
Bagian ii.
1. Pappuangan koyang
2. Pappuangan lambe
3. Pappuangan lakka
4. Pappuangan rui
5. Pappuangan tenggelan
6. Pappuangan luyo

Ada lagi Maradia (arajang) Balanipa:
Maradia (arajang) Balanipa adalah raja (kepala pemerintahan) yang tidak boleh bertindak sendiri-sendiri segala hal yang berhubungan dengan perencanaan dan pelaksanaan pemerintahan harus didasari dengan musyawarah mufakat dengan para anggota hadat (komponen 2). Terutama pada kelompok hadat bagian 1 (pa’bicara kaiyang, pa’bicara kenje, Pappuangan Limboro, Pappuangan Biring Lembang) sebagai anggota hadat inti, sampai pada urusan pribadi dan keluarga raja sendiri, misalnya perkawinan, penyunatan dan beberapa acara keluarga yang dilaksanakan secara adat, seperti mendirikan “baruga” (bangunan tempat mengadakan upacara adat/pangngadaran) dan lain-lain yang memerlukan gotong royong.
Unuk pengankatan seorang Maradia Balanipa yang baru, maka pencalonannya dilakukan oleh hadat dari Appe Banua Kayyang secara musyawarah mufakat dan hasilnya disampaikan pada Pappuangan Limboro, Pappuangan Biring Lembang selanjutnya kedua anggota hadat tersebut, membawa dalam sidang Hadat Halanipa untuk mendapakan persetujuan dan setelah mendapatkan persetujuan, maka dapatlah dilaksanakan pengangkatan.
Begitu pula dalam pemberhentian seorang raja, hadat harus atas dasar musyawarah mufakat/peresetujuan bulat, sebaliknya raja tidak boleh bertindak sendiri untuk memberhentikan seorang anggota hadat kecuali persetujuan hadat dan pejabat-pejabat yang berhak memilihnya.
Calon untuk mengisi lowongan raja, tidak mutlak dari putra raja yang baru meletakkan jabatan saja, teapi juga termasuk keturuan raja-raja terdahulu, keturunan (bija) I Manyambungi Raja Balanipa I.

Maradia Matoa Balanipa
Mara’dia Matoa bukan berarti orangnya sudah tua atau mantan mara’dia, tetapi suatu nama atau gelar jabatan khusus, maradia matoa dicalonkan oleh maradia /arajang sendiri dari keluarganya yang tingkat kebangsawanannya juga berhak menduduki jabatan raja, terpercaya, dapat bekerja sama dengan raja. Adapun proses pengangkatannya dilaksanakan setelah memperoleh dari para anggota hadat.
Menurut Sarbin Syam “bahwa Maradia Matoa Balanipa adalah Wakil Raja/arajang dan tidak termasuk golongan anggota hadat tetapi merupakan “peannangguruanna ada”(penasehat hadat). Namun ada pula yang berpendapat bahwa maradia itu merupakan perdana menteri.
Bila dalam suau sidang dewan pemerintahan kerajaan (paripurna) yaitu komponen i&2 dimana raja/arajang yang memimpin siding dan maradia matoa bertindak sebagai pennangguruanna se’ipuang (penaseha hadat) untuk menghadap raja. Tidak mutlak juga harus selalalu melalui maradia matoa, begitu pulah perintah raja, tidak mutlak disampaikan kepada maradia matoa, tetapi boleh langsung dari raja ke yang bersangkutan/hadat.
Ketentuan tersebut diatas berbeda dengan Kerajaan Pamboang, dimana pengangkatan seorang Maradia Matoa dari Puang Sassigi namun menjadi Raja/Maradia Pamboang berasal dari Bija Maradia Pamboang itu sendiri.
Apapun nama-nama yang pernah memangku maradia matoa di kerajaan balanipa adalah sebagai berikut:
1. Maradia Matoa i = odijallo (adik dari maradia balanipa ii tomepayung yang kemudian menggantikan Maradia Tomepayung menjadi Maradia Balanipa III.
2. Maradia Matoa I Nalong
3. Maradia Matoa I Baso (to kape) Ammana Ibali Maradia Balanipa
4. Maradia Matoa I Boroa (O Kape) Ammana Ibali Maradia Balanipa
5. Maradia Matoa Pammase (Pallawuang) Imandawari Maradia Balanipa
6. Maradia Matoa Abd. Majid Maradia Campalagian –Maradia Andi Baso Maradia Balanipa

MARADIA MALOLO
Syarat pengangkatan Maradia Malolo sama syaratnya dengan Maradia Maoa Balanipa. Bertugas sebagai panglima kelasykaran yang bertanggung jawab langsung pada Raja/Maradia Balanipa.
Adapun angkatan perang Kerajaan Balanipa disebut “joa”
Terdiri dari atas 4 (emapat) jenis sbb:
1. Joa’ maoa (pasukan pengawal istana)
2. Joa’ passinapang (pasukan bersenapan)
3. Joa’ pakkabussu (pasukan berani mati)
4. Joa’ pa’burasan (pasukan bersumpit)
Tiap-tiap joa pimpinan annangguru yang dibantu oleh sariang, tomabuweng dan ke’de, kemudian tiap-tiap annangguru bertanggung jawab langsung kepada Mara’dia Malolo.

KELOMPOK HADAT ATAU SEIPUANG 10 SOKKO
1. Pa’bicara kaiyang merupakan hulu balang untuk jurusan barat
2. Pa’bicara kenje merupakan hulu balang untuk jurusan timur
3. Pappuangan limboro merupakan hulu balang jurusan utara
4. Pappuangan biring lembang merupakan hulu baling jurusan selatan
Seperti tersebut dalam lontarak puangnga sidda (ps)cq lontarak napo
Mandar:- annaiya limboro ulubalangi bila-bila pole di buttu
- Biring lembang ulubalangi bila-bila pole disasi
- Pa’bicara kaiyang ulubalangi bila-bila ple di’atambusang
- Smbung bawa ulubalangi bila-bila pole dimata allo
Kemudian selanjutnya hada 10 sokko berkembang pula tugas pokoknya sebagai beriku:
1. Pa’bicara kaiyang tugas pokoknya sebagai kepala urusan pengadilan
2. Pa’bicara kenje sebagai kepala urusan urusan istana (sekretaris kerajaan)
3. Pappuangan limboro kepala urusan pemerintahan dalam negeri
4. Pappuangan biring lembang sebagai urusan luar negeri
5. Pappuangan koyang, lambe, luyo. Lakka, enggelang dan rui sebagai kepala pemerintahan wilayah pada satu banua tertentu atau tugas lain dari maradia/raja
Dalam hal penerimaan tamu-tamu kerajaan sebelum diperhadpkan kepada raja balanipa terlebih dulu harus diterima oleh pappuang limboro, pappuangan biring lembang, pa’bicara kaiyang, pa’bicara kenje dan masing-masing dibantu oleh seorang anggota hadat lainnya sbb:
Tamu dari jurusan utara mis: dari pus dan sekitarnya diterima oleh pappuangan limboro, amu dari jurusan selatan mis: dari teluk mandar dan sekitarnya atau yang melalui lautan, diterima oleh pappuangan biring lembang. Tamu dari jurusan timur mis: kerajaan binuang, batu lappa, sawitto, suppa, malluse tasi, massan rempulu dll, diterima oleh pa’bicara kenje, tamu yang dating dari jurusan barat mis: dari banggae, pamboang, sendana, appalang, mamuju dan seterusnya, diterima oleh pa’bicara kaiyang, sedang pappuangan koyang dipercayakan mengurusi syanbannar.
Pada pelantikan seorang raja balanipa yang baru, maka pa’bicara kenje’lah beserta pengiringnya yang bertugas keluar masuk istana mempersilahkan dan mengiringi raja ketempat pelantikan, sedang pelantikan dilakukan oleh pappuangan limboro sebagai anggota hadat tertua dan yang mewakili appe banua kaiyyang.
Walaupun demikian, menurt tata tertibnya panggadarang, jika para anggota-anggota hadat berjalan atau duduk berjejer, maka urut-urutannya sebagai berikut: pa’bicara kaiyyang, pa’bicara kenje, pappaungan limboro, pappaungan biring lembang dan seterusnya pappuangan koyong, pappuangan lambe, pappuangan lakka, pappuangan rui, pappuangan tenggelan, pappuangan luyo.

Pappuangan-pappuagan
1. Pappuangan koyong:
Pappuangan koyong adalah kepala pemerintahan banua (kira-kira setingkat dengan desa sekarang). Berhubung tenaga-tenaga terletak dimuara sungai mandar dipantai teluk mandar, tempat ini kemudian menjadi tempat domisili maradia balanipa dan berhubung pelabuhan balanipa terletak dalam wilayah pappuangan koyong, maka kadang merangkap sebagai sawannar (syahbandar), dimana sawannar menjadi tugas pappuangan luyo.

2. Pappuangan lambe:
Pappuangan lambe adalah salah satu anggota hadat kerajaan balanipa, sekaligus kepala pemerintahan banua lambe yang terletak disebelah timur banua tangnga-tangnga, banua lambe ini juga terletak dipantai teluk mandar.

3. Pappuangan lakka:
Pappuangan lakka adalah anggota hadat kerajaan balanipa dan sebagai kepala pemerintahan banua lakka yang meliputi: karama, kota, manjopai, banua lakka ini juga terletak disebelah timur dengan banua lambe, juga berada di pantai teluk mandar, dan mempunyai pelabuhan perahu, sehingga terjadi hubungan yang ramai dengan daerah luar.
Banua-banua ini tidak termasuk wilayah di bawah appe banua kaiyyang, karena dipandang sangat strategis dan didalamnya terdapat banyak bidang/urusan mis: politik, ekonomi, social budaya, kepala pemerintahannya dimasukkan menjadi anggota hadat balanipa. Sekarang ketiga wilayah ini masuk menjadi wilayah pemerintahan kepala karama.

4. Pappuangan Rui:
Pappuangan rui adalah juga anggota hadat balanipa yang tidak mempunyai wilayah pemerintahan sendiri, pappuang rui mempunyai tugas khusus sebagai duta/utusan kerajaan balanipa menhubungi kerajaan-kerajaan lainnya. Pertama kali yang diangkat menjadi pappuangan rui adalah seorang pemberani.

5. Pappuangan Tenggelan
Pappuangan tenggelan adalah anggota hadat balanipa yang pertama diangkat menjadi pappuangan tenggelan ialah maradia/raja baro-baro yang berjasa besar membantu kerajaan balanipa menyerang dan menghancurkan kerajaan passokoran.
baro-baro terletak disebelah timur appe banua kaiyyang.

6. Pappuangan Luyo:
Pappuangan Luyo anggota hadat Kerajaan Balanipa, dimana kedua anggota hadat (Puang Luyo dan Puang Tenggelan adalah berasal dari sejumlah raja-raja kecil pada sebelah timur dari wilayah Appe Banua Kaiyyang dan bersekutu dibawa pimpinan raja Balanipa II Tomepayung menhancurkan kerajaan Passokkorang, karena rajanya sangat kejam dan daum terhadap kerajaan-kerajaa lainnya termasuk kepada kerajaan balanipa sendiri. Kerajaan passokkorang adalah satu kerajaan besar pada zamannya yang bekas wilayahnya terletak dalam distrik mapilli kecamatan mapilli sekarang dan kecamatan campalagian.
Ada dua raja yang sangat berjasa dalam menghancurkan kerajaan passokkorang ialah maradia baro-baro dan to pole malombo, dinilai oleh pemerintah kerajaan balanipa, sehingga keduanya diangkat menjadi anggota hadat balanipa, dimana maradia baro-baro di beri gelar pappuang tenggelang dan topole malumbo diberi gelar pappuangan luyo (sesuai lps/lnm:33). Kemudian raja-raja kecil lainnya menjadi sekutu dari Kerajaan Balanipa (bate dan palili).
Dari kelompok hadat mulai dari Pa’bicara Kaiyyang sampai dengan PappuanganLuyo itulah yang disebut ada’ 10 (sappulo sokko) di Balanipa, dimana berlaku sejak dahulu sampai tahun 1906. Kemudian sejak tahun 1906 Pemerintah Belanda meniadakan dan menghapus jabatan Mara’dia Malolo, Pappuang Koyong, Pappuangan Lambe, Pappuangan Lakka, Pappuangan Rui Dan Pappuangan Luyo

Minggu, 13 Juni 2010

KERAJAAN-KERAJAAN PITU BA’BANA BINANGA

A. WILAYAH PEMERINTAHAN KERAJAAN BALANIPA

Wilayah pemerintahan Kerajaan Balanipa terbagi atas 2 (dua) bagian yaitu:
1. Wilayah Asal (Kern Land) Terdiri Atas Empat Banua Kaiyang Yaitu:
a. Banua Kaiyang Napo. Dikepali oleh Pappuangan Napo Saleko dan wakilnya bergelar Pappuangan Napo Buyung, Pappuangan Napo dibantu oleh Pa’ambi Tomabuweng dan Pa’ambi Anak Pattola, Tomabuwng, Aruang dan Annangguru Kaiyang (Imam). Anak Banua (desa), Banua Kaiyang Napo terdiri dari: Renggeang yang di kepalai Pappuangan dibantu oleh Tomabuwng, balanipa dikepalai oleh pappuangan dibantu tomabuwng dan lemosusu dikepalai pappuangan dan dibantu oleh tomabuweng.
b. Banua Kaiyang Samasundu. Dikepalai oleh pappuangan samasundu pangale, wakilnya adalah pappuangan samasundu camba. Pappuangan samasundu dibantu oleh tomabuweng, punggawa dan annangguru kaiyang (imam). Ana’ banua (desa), banua kaiyang samsundu terdiri dari: lembang-lembang yang dikepalai oleh maradia tomabubeng, salarri dikepalai oleh maradia salarri, jemarang dikepalai oleh pappuangan dibantu oleh tomabuweng, maradia jemarang.
c. Banua Kaiyang Mosso mempunyai Maradia (hanya symbol), sedangkan urusan kedalam wilayah banua kaiyang sendiri pemerintahan dijalankan oleh pappuangan mosso dan dibantu oleh tomabuwng, annangguru joa dan imam. Anak banua (desa) terdiri dari: - pambusuang (maradia, pappuangan, tomabubeng), lombok (matadia, pappuangan, tomabuweng), batu (pappuangan, tomabuweng).
d. Banua Kaiyang Todang-Todang. Mempunyai urusan kedalam Banua Kaiyang itu sendiri, sedangkan pemerintahan dijalankan oleh Pappuangan Todang-Todang dibantu oleh Tomabuweng, Annangguru Joa dan Imam. Ana’ banua (desa) terdiri dari:
- Batu Laya (Maradia, Pappuangan, Tomabuweng)
- Timbo yang dipegang/diurusi Pappuangan yang dibantu oleh Tomabuweng.
- Pendulangan dipegang/diurusi oleh Maradia dan Pappuangan yang dibantu oleh Tomabuweng.
Anak Banua Kaiyang tersebut diatas bersama-sama dinamai Appe Banua Kaiyang yang mempunyai hak istimewa sebagai Wakil Rakyat karena merekalah yang membentuk Kerajaan Balanipa.
Disamping Banua Kaiyang anak banua masing-masing, ada juga banua-banua yang tidak termasuk appe’ banua kaiyang. Banua-banua tersebut: dikepalai oleh salah seorang anggota Hadat Balanipa adalah sbb:
- Limboro dikepalai oleh Pappuangan Limboro yang dibantu oleh Tomabuweng.
- Tammangalle dikepalai oleh Pappuangan Biring Lembang dibantu oleh Tomabubeng.
- Tangnga-Tangnga dikepalai oleh Pappuangn Koyong dibantu oleh Tomabubeng.
- Lambe dikepalai oleh Pappuangan Luyo dibantu oleh Tomabuweng.
- Karama dikepalai oleh Pappuangan Lakka dibantu oleh Tomabuweng.
- Tenggelang dikepalai oleh Pappuangan Tenggelan dibantu oleh Tomabuweng.
- Luyo dikepalai oleh Pappuangan Luyo dibantu oleh Tomabuweng.

PERKAMPUNGAN
Perkampungan Khusus Terdiri Dari:
1. Tandung, berdiri sendiri dikepalai oleh Pappuangan Tandung dibantu Tomabubeng langsung kepada Hadat Balanipa.
2. Alle-alle perkampungan bagi petugas gendang kerajaan (lette ganrang)
3. Tandasura langsung dikendali oleh maradia balanipa
4. Pallis dikepalai maradia pallis dibantu oleh pappuangan dan tomabubweng.
5. Perkampungan-perkampungan untuk para tukang-tukang kerajaan (sakka manarang)
6. Kompleks Parrommo terdiri dari: puttapi, pussui, sambali, peburru, pattemarang, salunase dan sattoko.
WILAYAH-WILAYAH DILUAR WILAYAH ASLI/ASAL
Wilayah-wilayah diluar wilayah asli/asal kerajaan balanipa ialah kerajaan lain yang karena persahabatannya dengan kerajaan balanipa, sehingga menjadi wilayah kerajaan balanipa. Adapun kerajaan yang dimaksud adalah sbb:

1. KERAJAAN ALLU
a. Talogo dan pussu’ yang dipimpin oleh maradia dan pappuangan
b. Kalumammang dipimpin oleh pappuangan
c. Pao dipimpin oleh maradia dan pappuangan
d. Petoosang, sajoang, ba’ba mombi, malimbung, tu’bu dipimpin oleh pappuangan.
Kerajaan allu yang dahulunya berdiri sendiri dan termasuk “bocco tallu” (tiga bersahabat) yaitu: sendana, allu, dan taramanu, tetapi tidak menjadi ba’ba binanga dan mempunyai persekutuan tersendiri dengan kerajaan balanipa.

2. KERAJAAN TARAMANU
Kerajaan taramanu sama dengan kerajaan allu yaitu anggota bocco tallu (sendana, allu, taramanu) tidak menjadi ba’ba binanga dan mempunyai perjanjian tersendiri dengan kerajaan balanipa. Kerajaan taramanu diperintah oleh maradia taramanu dengan hadat pa’bicara taramanu dan pa’bicara kaiyang dan wilayah terdiri dari tapparang (pappuangan), tibung (pappuangan), ratte (pappuangan) kata (pappuangan) dan bulo-bulo (pappuangan).

3. KERAJAAN TU’BI
Kerajaan tu’bi adalah bukan anggota bocco tallu, tetapi mempunyai persahabatan tersendiri dengan kerajaan balanipa, kerajaan tu’bi diperintah oleh maradia tu’bi dan dibantu oleh baligau, dan wilayahnya terdiri dari: pappenga, bunu bohong batu, manuna, patandangan (maradia) parisn, talaloi, talaso, dan alariba.

4. KERAJAAN-KERAJAAN “TALLUMBANUA”
Dinamai bate dari balanipa yang membantu kerajaan balanipa jika pergi berperang dan mempertunjukkan “pattu’du” (penari pangandarang) pada acara-acara kerajaan balanipa. Yang dimaksud kerajaan “tallumbanua” adalah sbb:
a. Tomadio atau campalagian, diperintah oleh arruang (maradia) dengan hadatnya: punggawa, pappuangan, pa’bicara, sobotana, sobouwai, dan annangguru joa.
b. Mapilli, diperintah oleh aruang (maradia) dengan hadat 5 orang, pappuangan dan i punggawa dan i so’bo
c. Nepo/tapango, diperintah oleh aruang (maradia) dengan hadat: pa’bicara nepo, so’bo uwai, pappuangan, pa’bicara, aruang dan so’bo tana.
d. Palli arruwa (delapan wilayah)

APPE DIBUTTU (EMPAT DI PEGUNUNGAN):
1. Saburra (Arruang)
2. Daala (Maradia)
3. Lenggo (Maradia)
4. Batu (Aruang)

APPE DILAPPAR (EMPAT DATARAN RENDAH)
1. Rea (Tomakaka)
2. Bungi (Tomakaka)
3. Paku (Tomakaka)
4. Tabone (Tomakaka)

Palili arruawa mengadakan perjanjian persahabatan dengan balanipa dan menjadi wilayah kerajaan balanipa setelah hancurnya kerajaan passokkorang dan dikoordinasikan oleh pappuangan limboro dan pappuangan biring lembang.

Lima banua (lima wilayah)
1. Poda-Poda (Maradia)
2. Luluanna (Maradia)
3. Buluewengi (Maradia Matoa, Pa’bicara, Tomabuweng)
4. Limboro (Pappuangan, Tomabuweng)
Menjadi wilayah kerajaan balanipa setelah hancurnya passokkorang, dikoordinasikan oleh pappuangan limboro dan pappuangan biring lembang.


KERAJAAN BALANIPA PADA ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA
Pada masa penjajahan belanda (gubenemen hindia belanda) kerajaan balanipa mendapat hak pemerintahan sendiri dengan hak otonomi sama seperti dengan kerajaan lainnya di mandar dan sulawesi, namun tetap berada dibawah pengawasan pemerintahan gubernemen yang diwakili oleh aparaturnya didaerah-daerah yaitu asisten resident pada tingkat afdeling dan controleur pada tingkat onder afdeling.

Pada tahun 1906, terjadi perubahan susunan pemerintahan kerajaan balanipa sbb:
1. Maradia balanipa tetap sebagai kepala pemerintahan (zelfbestuurder)
2. Maradia matoa terakhir diduduki oleh pammase pallabuang (putera raja balanipa to kape, ayah dari h. A. Baso maradia balanipa). Dimana sejak tahun 1907 sampai dengan 1937 jabatan maradia matoa tidak di adakan lagi. Nanti pada tahun 1937 jabatan maradia matoa itu diadakan kembali, dengan diangkatnya abdul madjid (putera raja balanipa ila’djoe tomatindi di djudda) menjadi maradia matoa merangkap jabatan sebagai maradia/kepala distrik campalagian.
3. Pa’bicara kaiyang, pa’bicara kenje, pappauangan kenje, pappuangan limboro, pappuangan biring lembang dan pappuangan tenggelang tetap menjadi anggota hadat balanipa. Didalam pemerintahan kerajaan balanipa masing-masing merangkap sebagai kepala distrik.
4. Papuangan-papuangan: koyang, lakka, rui dan luyo masing-masing dihapus, dan
5. Jabatan maradia malolo dan semua bawahannya juga di hapus karena kepala kerajaan local zelfbestuur tidak diberi lagi hak untuk urusan angkatan perang.

Bila dilihat dari kenyataan tersebut diatas, mungkin karena pemerintah gibernemen kuwatir dan sekaligus menghindari selalu timbul pemberontakan terhadap kekuasaan pemerintahan penjajahan sebagaimana yang terjadi pada tahun 1906 dimana calo ammana iwewang maradia malolo balanipa ditangkap oleh pemerintah belanda dan diasingkan ketanjung bandang pulau belitung tahun 1908 dan baru dapat kembali kemandar 1943.

1. PEMBAGIAN WILAYAH PEMERINTAHAN KEDALAM DISTRIK
WILAYAH KERAJAAN BALANIPA MULA-MULA DIBAGI ATAS 27 DISTRIK SBB:
1. DISTRIK BATU LAYA (ANA’ BANUA DARI BANUA KAIYANG TODANG-TODANG)
2. DISTRIK LOMBOK (ANAK BANUA DARI BANUA KAIYANG MOSSO)
3. DISTRIK GALUNG (DARI PERKAMPUNGAN-PERKAMPUNGAN KHUSUS)
4. DISTRIK PAMBUSUANG (ANAK BANUA DARI BANUA KAIYANG MOSSO)
5. DISTRIK TAMMANGALLE (BANUA TEMPAT PAPPUANGAN BIRING LEMBANG)
6. DISTRIK TANGNGA (BANUA DIBAWAH PAPPUANGAN KOYANG)
7. DISTRIK KARAMA (BANUA DIBAWA PAPPUANGAN LAKKA)
8. DISTRIK NAPO (BANUA KAIYANG)
9. DISTRIK SAMASUNDU (BANUA KAIYANG)
10. DISTRIK MOSSO (BANUA KAIYANG)
11. DISTRIK TODANG-TODANG (BANUA KAIYANG)
12. DISTRIK PUSSUI (DARI PARROMMO)
13. DISTRIK CAMPALAGIAN (KERAJAAN CAMPALAGIAN)
14. DISTRIK ALLU (KERAJAAN ALLU) 15. DISTRIK TANDASURA (KHUSUS)
16. DISTRIK MAPILLI (KERAJAAN MAPILLI)
17. DISTRIK PA’LA (DARI PALILIARUA)
18. DISTRIK SABURA (DARI PALILIARUA)
19. DISTRIK BULO
20. DISTRIK TAPANGO (DARI KERAJAAN TAPANGO NEPO)
21. DISTRIK NEPO (DARI KERAJAAN TAPANGO NEPO)
22. DISTRIK BATU (DARI PALILI ARUA)
23. DISTRIK TARAMANU (DARI KERAJAAN TARAMANU)
24. DISTRIK BULUBENGI (DARI LIMAMBANUA)
25. DISTRIK TUBBI (KERAJAAN TUBBI)
26. DISTRIK POLEWALI (DARI LIMAMBANU)
27. DISTRIK LENGGO (DARI PALILI ARUA)

Pembagian 27 Distrik Ini Tidak Lama Berlangsung, Berhubung Pemerintah Belanda Menganggap Kurang Strategis Untuk Pencapaian Tujuan Penjajahan, Sehingga Pada Tahun 1911 Jumlah Distrik Di Peciut/Dikurangi Menjadi 11 (Sebelas) Distrik.
Adapun Kesebelas Distrik Tersebut Adalah Sbb:
1. Distrik Batulaya (Penggabungan Distrik Lama Batulaya Dengan Distrik Lombo’) Dikepalai Oleh Pa’bicara Kaiyang (Anggota Hadat Balanipa).
2. Distrik Pambusuang (Penggabungan Distrik Lama Pambusuang, Tammangalle, Tangnga-Tangnga, Dan Karama Dikepalai Oleh Pappuangan Biring Lembang (Anggota Hadat Balanipa).
3. Distrik Galung-Galung (Dari Kampong Khusus) Dikepalai Oleh Pa’bicara Kenje Anggota Hadat Balanipa.
4. Distrik Napo (Penggabungan Distrik Lama Napo Dan Samsundu Dikepalai Oleh Pappuangan Limboro (Anggota Hadat Balanipa)
5. Distrik Mosso (Penggabungan Distrik Lama Mosso, Toda-Todang Dan Pussui Dikepalai Oleh Pappuangan Tenggelang Anggota Hadat Balanipa.
6. Distrik Campalagian (Tetap Nama Semula) Dikepalai Oleh Maradia Campalagian, Dimana Waktu Itu Masih Semata-Mata Kepala Distrik, Belum Merangkap Maradia Matoa Balanipa.
7. Distrik Allu (Penggabungan Distrik Lama Allu Dan Tandasura Dikepalai Oleh Naradia Allu.
8. Distrik Mapilli (Penggabungan Distrik Lama Mapilli, Da’ala, Saburra Dan Bulo Dkepalai Oleh Maradia Mapilli.
9. Distrik Tapango (Penggabungan Distrik Lama Tapango, Nepo Dan Batu) Dikepalai Oleh Maradia Tapango.
10. Distrik Taramanuk (Penggabungan Distrik Lama Taramanuk Dan Bulubengi
11. Distrik Tu’bi (Penggabungan Distrik Lama Tu’bi, Polewali Dan Lenggo Di Kepalai Oleh Maradia Tu’bi
Catatan:
Pada Tahun 1937 Pada Periode Pemerintahan Andi Baso Maradia Balanipa, Dimasukkan Tranmigrasi Dari Pulau Jawa, Mereka Ditempatkan Diwilayah Mapilli Dan Sebagaiannya Diwilayah Distrik Tapango.
Kedua Daerah Yang Ditempati Transmigtasi Tersebut Digabungkan Menjadi Satu Distrik Yang Baru Dan Di Kepalai Oleh Seorang Asisten Wedana Yangb Bernama R. Soeparman (Berasal Dari Jawa)
Dengan Terbentuknya Sebelas Distrik Tersebut Oleh Ulah Pemerintah Belanda, Maka Jabatan-Jabatan Adat Sebagai Pemerintah Otonomi Diwilayah-Wilayah Appe’ Banua Kaiyang, Banua-Banua Dan Banua Baik Diwilayah Kerlan(Wilayah Asal) Maupun Diluarnya, Tidak Diakui Lagi Oleh Pemerintah Belanda, Semuanya Digantikan Dengan Pengangkatan Kepala Kampong Yang Dipilih Oleh Rakyat, Bahkan Ditiap-Tiap Wilayah Banua Kaiyang Dibagi Menjadi Beberapa Kampong-Kampung Yang Diperintah Oleh Kepala Kampong. Dengan Perubahan-Perubahan Tersebut Diatas, Maka Diseluruh Wilayah Kerajaan Balanipa Menyangkut Jabatan Terjadi Perubahan Pula Yang Bermacam-Macam, Dimana Kepala Kampong Yang Statusnya Disamping Sebagai Kepala Wilayah, Bagian Administrative Dibawah Kepala Distrik, Juga Merangkap Jabatan Hadat Yang Juga Berfungsi Untuk Urusan-Urusan Adat Setempat, Ada Pula Yang Memisahkan Jabatan Kepala Kampong Dan Jabatan Adat Diwilayah Yang Sama Dan Ada Pula Yang Sama Sekali Tidak Memakai Lagi Jabatan Adatnya.
Pada Realitasnya Pappuangan Dari Appe’ Banua Kaiyang Keberadaannya Tidak Lagi Diakui Oleh Pemerintah Penjajah (Belanda), Tetapi Dalam Masyarakat, Utamanya Dalam Pemilihan Maradia Balanipa Dan Pappuangan Limboro Begitupun Pada Pelantikannya Ternyata Masih Sangat Berpengaruh Dan Tidak Dapat Ditinggalkan Begitu Saja. Sehingga Pappauangan Yang Memang Sudah Ada Dibiarkan Terus Menjalankan Fungsinya Khusus Pada Bidang Urusan Hadat, Antara Lain Yang Menyangkut Pemilihan Dan Pelantikan Maradia Balanipa Dan Pappuangan Limboro Yang Baru.
Pelaksanaan Pemerintahan Swapraja Ala Pemerintahan Belanda Berlangsung Sampai Pada Tahun 1959 Dengan Lahirnya Uu No.29tahun 1959 Tentang Pembentukan Pemerintahan Daerah Di Sulawesi Dan Saat Itu Pula System Pemerintahan Swpraja Di Indonesia, Maka Berakhirlah System Pemerintahan Kerajaan Balanipa Yang Para Pejabat Pemerintahannya Disyaratkan Turun Temurun Dari Nenek Moyang Itu.


B. KERAJAAN SENDANA

Salah Satu Kerajaan Didaerah Mandar Tergabung Dalam Persekutuan Pitu Babana Binanga Dengan Status Sebagai Ibu. Sendana Ditemukan Oleh Daeng Tumana Tomakaka Tabulahan (Dari Pitu Ulunna Salu). Adik Kandung Daeng Tumana Bernama Daengpalulung Yang Memperistrikan Tomesaraung Bulawang Putrid Raja Bone Dating Bermukim Di Saqdawang. Daeng Palulung Dan Tomesaraung Bulawang Dalah Raja Dan Permaisuri Paertama Kerajaan Sendana (Pendapat A.M. Mandra).
Penamaan Sendana Berasal Dari Kata Sendana , Dimana Pada Waktu Itu Tomesaraung Bulawang Mempunyai Tongkat Dari Kayu Cendana Yang Ditancapkannya Di Puncak Buttu/Gunung Suso Yang Kemudian Tumbuh Subur. (Pendapat Sadid Dan Soenoesi): Tongkat Tobondeq Adik To Papo Yang Secara Ajaib Ditemukannya Dikampung Waras Yang Didlilit Kain Kuning Yang Kemudian Bernama Cakkuriri Bergambar Seekor Kelajengking, Dua Bilah Pedang Bersilang Dan Bertuliskan “Lailaha Illallah Muhammadarrasulullah”. Dan Tongkat Dari Tangkai Pohon Cendana Itulah Yang Beberapa Lama Setelah Ditancapkan Oleh To Bondeq Yang Tumbuh Subur.
Daeng Palullung Ditempat Itu Mendirikan Kerajaan Sendana Sekitar Abad Ke-9 Miladiyah Dengan Gelar Arayang Sendana.
Dikisahkan Bahwa Cakkuriri Itu Diambil Oleh Daeng Palulung Dibaras Mamuju Dalam Pengembaraannya Sebelum Mengawini Tomesaraung Bulawang Saqadawang, Berates Tahun Lamanya Menjadi Ibu Kota Kerajaan Sendana, Mulai Dari Kerajaan Sendana Yang I Yaitu Daeng Palullung Sampai Yang Ke Iii Yaitu Idaeng Marritu’ Yaitu Putra (Indara Putri Daeng Palullung).
Nantialah Raja Sendana IV Puatta Ipodang, Ibu Kota Kerajaan Sendana “Diturun Pindahkan” Kepantai Ditempatkan Dipodang Sirua, Sendana Berates-Ratus Tahun Lamanya Podang Menjadi Ibu Kota Kerajaan Sendana. Pada Masa Pemerintahan Mappagiling Raja Sendana Yang Yang Ketiga Puluh Enam, Dalam Tahun 1917 Miladiyah, Ibu Kota Sendana Dipindahkan Dari Pdang Ke Somba.
Adapun Batas-Batas Kerajaan Sendana Adalah Sbb:
a. Disebelah Utaara Berbatasan Dengan Malunda (Daerah Mandar Pamboang, Kecuali Ulu Manda; Karena Ulu Manda’ Lebih Dulu Masuk Kerajaan Sendana).
b. Sebelah Timur Berbatasan Dengan Lembang Mapi.
c. Sebelah Selatan Berbatasan Dengan Kerajaan Pamboang Dan
d. Sebelag Barat Berbatasan Dengan Selat Makassar.


STRUKTUR DAN SISTIM PEMERINTAHAN KERAJAAN SENDANA

Periode Tradisonal
Pada Waktu Cikal Bakal Kerajaan Sendana Disaqadawang, Daeng Tumana Tomakaka Tabulahan Sudah Merintis Permukiman/Perkampungan Dan Organisasi Kekuasaan Yang Dipimpinnya Dikenal Dengan Istilah Bawa Tau (Pemimpin Kaum).
Dari Bawa Tau Menjadi Pappuangan. Pada Masa Daengpalulung Tomesaraung Bulawang Menjadi “Patta Sampai Istana Raja Berdiri Disqadawang, Mulai Saat Itu Dekenal Dengan Istilah To Memmara-Maradia Yang Akhirnya Menjadi Maradia Dan Meningkat Menjadi Arajang.
Istilah Dan Fungsi Pappuangan Dan Puatta Masih Tetap Ada Sebagai Adat Yang Mempunyai Tugas Pokok Badan ”Legislatif” Sekalian Mempunyai Daerah/Penduduk Asli. Datang Pula Andirinna Dari Rante Bulahan Ke Tallambalaodan Menjadi Maradia/Pemimpin/Penguasa Didaerah Itu Dengan Gelar Tomakaka Talambalao.
Pada Proses Selanjutnya Gelar Tomakaka Berubah Menjadi Maradia Tallambalao. Kemudian Suatu Waktu Berubah Menjadi Maradia Tammala Ra’da Yang Akhirnya Menjadi Maradia Tammero’do’. Semulah Daerah Tammero’do’ Disebelah Utara Berbatasan Dengan Kerajaan Onang Dan Daerah Pdang Di Selatan.
Pada Masa Berikutnya Dating Pulah Inuji Alias Tokera’ Tosiwawa Ada’ Dan Bermikim Di Limboro Rambu-Rambu Menjadi Sambolangi (Panlima Perang) Di Kerajaan Sendana. Dari Gabungan Ketiga Sumber Manusia Yang Serumpun Dari (Pitu Ulunna Salu: Tabulahan, Rantebulahan, Aralle) Disendani Ini, Lahirlah Daerah Kerajaan Sendana Dengan Ibu Kota Kerajaan Isaqadawang.

Struktur Hadat Dan Susunannya Di Sendana
Puttada’ Dengan Tallumbalao Ditetapkan Sebagai Daerah Pattannang Ada’. Pattannang Ada’ Yang Menentukan Calon Pemangku Adat Diantara Semua Lembaga Adat Yang Disebut “Sappulo Sokko Ada’ Disendana.
Pemilihan Calon Pemanku Hadat Mulai Dari Pa’bicara Tangnga Sampai Mosso, Maka Ptta’da Yang Menjadi Jarum (Ketua) Dan Tallambalao Menjadi Banning (Benang) Atau Anggota Dan Mulai Dari Tammero’do Sampai Tubo. Tallambalao Menjadi Rarung (Jarum) “Ketua” Dan Putta’da Menjadi Banning (Benangi “Anggota”
Setelah Pemangku Adat Yang Sepuluh Itu Lengkap Menuduki Jabatan Masing-Masing, Musyawarah Adat Pun Dilakukan Memilih Maradia/Raja Sendana Oleh Para Pemangku Adat Yang Sepuluh Itu Juga Yang Memberhentikan Maradia/Raja. Sementara Maradia/ Raja Tidak Berwenang Memecat/Memberhentikan Pemangku Hadat. Pemilihan Pengangkatan/Pelantikan Raja Sendana Sama Dengan Proses Pemilihan Di Kerajaan Balanipa.


WEWENANG, FUNGSI DAN CARA MEMUNDURKAN/MEMECAT RAJA PADA PERIODE TRADISIONAL

Maradia/Raja Sendana Adalah Symbol Kekuasaan Tertinggi Dalam Struktur Pemerintahaan Kerajaan, Dalam Menjalankan Fungsinya, Ia Tidak Otoriter, Tidak Menjalankan Kekuasaan Mutlak. Mekanisme Roda Pemerintahan Dijalankan Oleh Para Pa’bicara, Pappuangan Dan Perangkat Pemerintahan Kerajaan Lainnya.
Dalam Usaha Hukum Dan Penerapannya Dalam Masyarakat Oleh Musyawarah Adat, Juga Atas Nama Mara’dia. Gerak Kekuasaan Dipagari/Dibatasi Oleh Adat. Karena Ia Diangkat Dan Dilantik Menjadi Raja Oleh Musyawarah Adat Berdasarkan Hukum Adat. Dimana Raja Wajib Memilihara Dan Melindungi Keseluruhan Adat Istiadat Yang Tumbuh Dan Berkembang Di Masyarakat.
Raja Sendana Diturungkin Dari Singgasana Melalui Musyawarah Adat, Apabila Wilayah Dan Masyarakat Sendana Berlangsung Keadaan Yang Digambarkan/Dikatakan Dalam Bahasa Mandar Oleh Ma’ebarang (Seorang Budayawan Sendana A.M.Manra Dan Diterjemahkan Sekaligus Dijelaskannya Sbb: Mua Tattisamba’mi Lembong (Bila Ombak Sudah Tidak Memecah Kepantai, Hasil Laut Tidak Ada) Tamma Pa’dendammi Palungan (Lesung Sudah Tidak Berdendang Lagi, Pangan Tidak Jadi/Tidak Ada) Tammetutturuku’mi Manu (Ayam Sudah Tidak Berkokok Lagi) Tammembura’mi Mera’ (Pinang Sudah Tidak Tak Berbunga, Buah-Buahan Tidak Jadi) Tammendaummi Ayu Pangale (Kayu Dihutan Sudah Tak Berdaun, Terjadi Pacelik) Malanemi Buttu (Gunung Telah Gundul, Terjadi Kemarau Panjang) Laanmi Lita’ (Tanah Sudah Lekang, Kemarau Membuat Tanah Tak Berhasil), Amalussuammi Dui-Dui’ (Rumputpun Sudah Layu, Kehidupan Rakyat Merana), Bullemi Bandangang (Pikullah Tombak Pusaka), Puyiri Pasa’ Tippo (Pakai Keris Pusaka), Patili Sallu-Sallu (Miringkan Kekiri) Destar, Anna Muambei Awiasang (Kemudian Lakukan Adat), Odiada’ Odibiasa ( Sesuai Adat Kebiasaan).
Demikianlah Jika Keadaan Dalam Kerajaan Sudah Berlangsung Sebagaimana Yang Dilukiskan Dalam Ungkapan Dari Kalimat Moa’ Tattisamba’mi Sampai Amalassuammi Dui-Dui Dan Semua Anggota Adat Yang Berwenang, Lengkap Pakaian Adat Dengan Daster Dimiringkan Kekiri Berjalan Beriringan Teratur Didepan Istana Raja, Maka Saat Itu Raja Sudah Harus Tahu Diri, Mengerti Apa Yang Harusnya Ia Lakukan Berikut Ini: Tidak Terlalu Lama Berselang, Secara Pribadi Dengan Penuh Kekeluargaan, Raja Mengundang Anggota Lembaga Hadat Yang Mengangkatnya Menjadi Raja, Beramah-Ramah Di Istina, Ditempat Disebut Polimboang (Tempat Berkumpul Berbincang Bermustawarah) Raja Mengatakan Kepada Tamunya Terutama Anggita Lembaga Adat Itu Supaya Segera Ia Carikan Pengganti, Dengan Alas An Basi-Basi “Kesehatannya Tidak Mengisinkan Lagi” Untuk Menjadi Raja, Atau Mencari Alas An Lainnya, Tanpa Menyinggung Keadaan Yang Sebenarnya.
Kata Di Pecat” Dalam Budaya Sendana Ialah “Niwei Ewangang Malawas” (Diberikan Senjata Panjang), Raja Yang Dijatuhi Hukuman “Niwei Ewangan Malawas” Apa Bila Seorang Raja Melakukan Pelanggaran Moral/Akhlak. Menurut Adat, Raja Yang Diberi Ewangan Malawas Oleh Musyawarah Adat, Maka Sampai Tujuh Turunan Anak Cucunya Tidak Boleh Diangkat Menjadi Raja Sendana, Namun Bagi Raja Yang Meletakkan Jabatan Bukan Karena Niwei Ewangan Tidak Dikenakan Sumpah Tersebut.

SAPPULO ADA’ DISENDANA ADALAH SEBAGAI
1. Puatta Di Podang
2. Pappuangan Di Putta’da’
3. Maradia Talambalao (Maradia Tammero’do)
4. Maradia Limbua’
5. Pa’bicara Tangnga
6. Mara’dia Onang
7. Maradia Tubo
8. Maradia Kenje
9. Tomakaka Ulumanda’
10. Tosiwawa Ada’ Dilimboro.

Dalam Pelaksanaan Pemerintahan, Pemangku Hadatlah Memerintah Berhubungan Langsung Dengan Rakyat/Masyarakat Atas Nama Raja.

ANA BANUA
Dalam Kerajaan Sendana, Disamping Sappulo Sokko’ Ada’ Terdapat Juga Lembaga Adat Yang Disebut Ana’ Banua. Ana’ Banua Itu Terlibat Didalam Pemilihan Calon Pemangku Adat Didaerah Masing-Masing, Tetapi Tidak Dilibatkan Didalam Musyawarah Adat Memilih Dan Mengangkat Raja.

Adapun Ana Banua Tersebut Ialah:
1. Mosso Dengan Maradia Mosso
2. Somba Dengan Maradi Somba
3. Awe’ Dengan Pappuangan Di Awe’
4. Paminggalan Dengan Maradia Paminggalan
5. Banua Babi Dengan Maradia Banua Mabi
6. Tolongga Dengan Pue’ Di Talongga
7. Lemo Dengan Pue’ Dilemo
8. Puttamoe’ (Awo’) Dengan Maradia Puttamue’ Kemudian Berubah Menjadi Tomanjannangngi Di Awo’
9. Buya Dengan Puatta Di Buya
10. Kulasi Dengan Puatta Di Kulasi
11. Balaggitang Dengan Pue’ Dibalanggitang
12. Salutambung Dengan Pue’ Disalutambung.

DAERAH TOTALLUMBANUA
1. Poniang
2. Tunu Ballo Berubah Menjadi Tunu Bulang
3. Karema
Totallumbanua Bertugas Menghibur Kerajaan Sendana Dan Mengusung Mayat Raja Sendana.
Adapun Yang Membantu Raja Di Urusan Pemerintahan Adalah Sejumlah Sejumlah Pejabat Kerajaan Sbb:
1. Maradia Matoa Koordinator Urusan Pemerintahan Didalam Dan Diluar Istana.
2. Maradia Malolo Coordinator Urusan Pertahanan Dan Keamanan Merangkap Panglima Perang.
3. Pa’bicara Kaiyang Coordinator Urusan Lembaga Adat
4. Pa’bicara Parattas Penasehat Raja Bidang Hokum
5. Suro’ Tannipasang Diplomat Berkuasah Penuh Di Kerajaan
6. Andongguru Joa’ Matoa
7. Andongguru Joa’ Passinapang
8. Andongguru Joa’ Pa’burasang
9. Andongguru Joa’ Pakkamu7su

Andongguru Mengkoordinasi Joa’ (Lascar/Pasukan) Dan Kesemuanya Dibawa Komando Maradia Malolo.
Dalam Ensiklopedia “Suradi Yasil” Dalam Keterangan Dari (Sadaid Dan Soenoesi, 1984) Dijelaskan Bahwa Fungsi Raja Dan Pembantu Raja Sendana Dalam Urusan Pemerintahan Adalah Sbb:
1. Maradia/Raja Adalah Pucuk Pimpinan/Ketua Hadat Dalam Kerajaan Sendana.
2. Maradia Matoa Adalah Wakil Maradia Dan Penangguruanna To Ada’
3. Pa’bicara Kaiyang/Sulonai Putta’da.
4. Pa’bicara Tangnga Sulonai Mosso
5. Pa’bicara Kenje Sulonai Tamajijiran Atau Tallumbanua (Poniang, Karema, Tomibulang). Tallmbanua Ini Diawasi Oleh Tomanjannangngi Hadat Kerajaan Sendana.
6. Suro’ Tandi Pasang, Menjelma Menjadi Parattas Bicara, Atau Pa’bicara Tappabaru, Hadat Dalam Kerajaan Sendana.

PERIODE PENJAJAHAN
Dalam Periode Ini, Sebagai Penjajah Yang Berkuasa, Belanda Telah Mencampuri Urusan Adat Pemerintahan Dikerjakan Sendana. Golongan Bangsawan Yang Bias Bekerja Sama Dengan Belanda Memperoleh Dan Memanfaatkan Kesempatan.
Dibawa Pengaruh Dan Perlindungan Belanda, Mulailah Raja Mengatur Dan Menetapkan Siapa-Siapa Yang Bisa Diangkat Menjadi Pemangku Hadat, Walaupun Yang Bersangkutan Tidak Memenuhi Syarat/Criteria Menurut Adat Kebiasaan Leluhur.
Lembaga Musyawarah Adat Yang Sebenarnya Masalah-Masalah Tertentu Sudah Tidak Berfunsi Lagi.
Pada Tahun 1917 Ibu Kota Kerajaan Dari Podang Dipindahkan Kesomba Bertepatan Wafatnya Raja Sendana Rukkalaumu (Tonitatta’) Dan Digantikan Oleh Mappagiling Memangku Tahta Kerajaan Sendana, Dan Pua’ Sopu’ Yang Menjadi Pa’bicara Melalui Musyawarah Adat Jabatan Pa’bicara Kaiyang Dilimpahkan Pada Putrinya Sitti Daeni, Dan Tugas Sehari-Harinya Dijalankan Oleh Suaminya Aco’ Pua’ Pawelai, Sepupuh Mappagiling Raja Sendana. Dimasa Itulah Kerajaan Sendana Dirubah Menjadi Lonschap Tjnrana.
Jabatan-Jabatan Pa’bicara, Pappuangan, Pue’, Tammajannangi Dan Sebagainya Dirubah/Diangkat Menjadi Kepala Distrik Dan Kepala Kampong.


DISTRIK DAN NAMA JABATAN DALAM PEMERINTAHAN ADALAH SBB:
1. Pa’bicara Kaiyang Menjadi Kepala Distrik Somba
2. Pa’bicara Kenje’ Menjadi Kepala Distrik Pundu
3. Pa’bicara Tangnga Menjadi Kepala Distrik Limbua
4. Maradia Tammero’do Menjadi Kepala Distrik Tammero’do
5. Maradi Aonang Menjadi Kepala Distrik Onang
6. Maradia Tubo Menjadi Kepala Distrik Tubo
7. Tomakaka Ulumanda Menjadi Distrik Ulumanda
Ammaradiang Limbua’ Dimasukkan Dalam Distrik Limbua’
Pemerintahan Adat Di Putta’da Dan Limboro Rambu-Rambu Dimasukkan Ke Distrik Lain.

Periode Kemerdekaan:
Dalam Periode Ini Struktur Wilayah Dan Istilah/Nama Jabatan Adat Tidak Berubah, Tapi Sistim Pemerintahan Diwilayah Sendana Berubah Menjadi Kecamatan Sendana Yang Dipimpin Oleh Camat, Sama Dengan Kecamatan Lainnya Di Indonesia, Sesua Napas Uu.N0.29 Tahun 1959
Dalam Wilayah Kecamatan Sendana Terdapat Dua Kelurahan Dan Lainnya Desa Sbb:
1. Kelurahan Mosso Ibu Kotanya Somba
2. Kelurahan Mosso Dua Ibu Kotanya Mosso
3. Desa Puta’da Ibu Kotanya Binanga
4. Desa Sendana Ibi Kotanya Palipi
5. Desa Tammero’do Ibu Kotanya Pellattoang
6. Desa Seppong Ibu Kotanya Seppong
7. Desa Ulidang Ibu Kotanya Labuang
8. Desa Onang Ibu Kotanya Para’baya
9. Desa Tubo Ibu Kotanya Batu Roro.


C. KERAJAAN BANGGAE

Salah Satu Kerajaan Didaerah Mandar Yang Merupakan Anak Tomayolin-Jolinna Balanipa Dan Anggota Persekutuan Pitu Ba’bana Binanga, Wilayah Kerajaan Banggae Sekarang Ini Di Kabupaten Majene.

PEJABAT PEJABAT DALAM KERAJAAN BANGGAE
1. Mara’dia Banggae
2. Maradia Matoa (Ada Yang Berpendapat Berfungsi Setara Dengan P.M
3. Pa’bicara Malolo
4. Pa’bicara Totoli
5. Pa’bicara Pangali-Ali
6. Pa’bicara Baru
7. Tokaiyang Di Banggae
8. Tokaiyang Di Pangali-Ali

SAPPULO SOKKO DEWAN ADAT KERAJAAN BANGGAE
Pada Masa Pemerintahan Raja Banggae “Tomappeanangi Ayahanda Tomatindo Disalombo” Dewan Hadat Kerajaan Banggae Terdiri Atas:
1. Pa’bicara Banggae
2. Pa’bicara Totoli
3. Pa’bicara Baru
4. Pa’bicara Pangali-Ali
5. Tokaiyang Di Banggae (Pembantu Pa’bicara Banggae Berkedudukan Disaleppa)
6. Puang Ditalise (Pembantu Pa’bicara Totoli Berkedudukan Di Talise)
7. Tomalamber Dirangas (Pembantu Pa’bicara Baru Berkledudukan Di Rangas)
8. Lasewau Dicamba (Pembantu Pa’bicara Baru Berkedudukan Dicamba)
9. Tokaiyang Di Pangali-Ali (Pembantu Pa’bicara Pangali-Ali Berkedudukan Di Pangali-Ali
10. Tolimappongnge’ Digalung (Pembantu Pabicara Pangali-Ali Berkedudukan Dipangali-Ali

TUGAS DEWAN HADAT INI BERTUGAS
1. Membuat Undang-Undang Kerajaan
2. Memilih Dan Mengangkat Raja
3. Mengadili Setiap Perkara
4. Memberi Nasehat Kepada Raja Diminta Atau Tidak.
SEGALA SESUATU YANG RESMI/FORMAL KEPUTUSAN DEWAN HADAT DISAMPAIKAN KEPADA RAJA BANGGAE HARUS MELALUI ANDONGGURU TOTONGAN LOA. SEDANGKAN PERINTAH ATAU KEPUTUSAN RAJA BANGGAE DISAMPAIKAN OLEH MARADIA MATOA KEPADA ANDONGGURU TOTONGAN LOAD AN PA’BICARA.
WILAYAH-WILAYA KEWENANGAN:
WILAYAH KEWENANGAN KEPA’BICARAAN
1. WILAYAH KEPA’BICARAAN TOTOLI, MELIPUTI: SOREANG, RANGAS, PAMBO’BORANG, MANGE DAN DETENG-DETENG.
2. WILAYAH KEPA’BICARAAN BARU, MELIPUTI: TOPPO, CAMBA, BARUGA DAN SEGERI
3. WILAYAH KEPA’BICARAAN PANGALI-ALI, MELIPUTI: BINANGA, TANJUNG BATU, PARAPPE, PANGALE, BARANE’, SALA BULO DAN GALUNG.

PEJABAT KERAJAAN LAINNYA MELIPUTI:
1. MARA’DIA MALOLO, SEBAGAI PANGLIMA ANGKATAN PERANG/PERTAHANAN KERAJAAN, MEWAKILI RAJA DALAM URUSAN PEMERINTAHAN APABILA RAJA BERHALANGAN.
2. BALI PAYA’, BERTUGAS MEMILIH DAN MENGANGKAT PA’BICARA.
3. SAWANNAR, BERTUGAS MEMUNGUT BEA DI PELABUHAN, BERTANGGUNG KEPADA RAJA.
4. PALLENG PASAR, MEMUNGUT SUSUN PASAR, BERTANGGUNG JAWAB LANGSUNG KEPADA RAJA.
5. PAPPUANGAN DI SALABOSE, BERTUGAS MELAKSANAKAN PEMERINTAHAN RAJA DISALABOSE, MENYIMPAN DAN MEMELIHARA BENDA-BENDA PUSAKA KERAJAAN BANGGAE.

D. KERAJAAN PAMBOANG
KERAJAAN PAMBOANG ADALAH SALAHSATU KERAJAAN DI DAERAH MANDAR. WILAYAH KERAJAAN PAMBOANG, SEKARANG INI DI KABUPATEN MAJENE, TERGABUNG DALAM PERSEKUTUAN PITU BA’BANA BINANGA DENGAN STATUS SEBAGAI ANA’ (ANAK) DALAM PENGERTIAN ANGGOTA (DALAM BAHASA LONTAR YANG DITUTURKAN BIASA DISEBUT ‘TOWAINE’ PITU BA’BANA BINANGA’) DIA ANAK PERTEMUANNYA PITU BA’BANA BINANGA.

PARA PEJABAT DALAM KERAJAAN PAMBOANG ADALAH:
1) MARADIA PAMBOANG
2) MARADIA MATOA (ADA YANG BERPENDAPAT SETARA DENGAN PERDANA MENTERI DAN KETURUNAN RAJA PAMBOANG DARI PUANG SASSIGI (BUANG PUANG RESSU). HUBUNGAN MARADIA DENGAN ANGGOTA HADAT PAMBOANG HARUS MELALUI PERANTARAAN MARADIA MATOA.
3) PA’BICARA BONDE
4) PA’BICARA ADOLANG
5) SURO PUANG DITAWARO
6) SURO PUANG DI POLONG
7) PA’BICARA LALAMPANUA.

E. KERAJAAN MAMUJU
KERAJAAN MAMUJU ADALAH SALAH SATU KERAJAAN DI DAERAH MANDAR. WILAYAH KERAJAAN MAMUJU SEKARANG INI DIKABUPATEN MAMUJU. ADALAH TERGABUNG DALAM PERSEKUTUAN PITU BA’BANA BINANGA DENGAN STATUS SEBAGAI ANAK.

PARA PEJABAT DALAM KERAJAAN MAMUJU IALAH:
MARADIA MAMUJU
1) MARADIA MATOA (PERDANA MENTERI)
2) PUE BALLUNG
3) PUE TOKASIBA
4) PUE PEPA
5) PA’BICARA
6) PANGULU

F. KERAJAAN TAPPALANG
KERAJAAN TAPPALANG ADALAH SALAH SATU KERAJAAN DIDAERAH MANDAR YANG JUGA TERGABUNG DALAM PERSEKUTUAN PITU BA’BANA BINANGA. WILAYAH KERAJAAN TAPPALANG SEKARANG INI MASUK DIKABUPATEN MAMUJU. STATUS KERAJAAN TAPPALANG ADALAH ANAK DARI PITU BA’BANA BINANGA.

PARA PEJABAT DALAM KERAJAAN TAPPALANG IALAH:
1) MARADIA TAPPALANG
2) MARADIA MATOA (PERDANA MENTERI)
3) PUNGGAWA PAYANGGINA
4) PUNGGAWA TAPPALANG
5) PUNGGAWA AROBUA
6) PUNGGAWA PASSABU.

G. KERAJAAN BINUANG.
ADALAH SALAH SATU KERAJAAN DIDAERAH MANDAR, WILAYAH KERAJAAN BINUANG SEKARANG INI DIKABUPATEN POLEWALI MANDAR, TERGABUNG DALAM PERSEKUTUAN PITU BA’BANA BINANGA DENGAN STATUS SEBAGAI ANA’ ANAK DALAM PENGERTIAN SEBAGAI ANGGOTA.

PARA PEJABAT DALAM KERAJAAN BINUANG IALAH:
1) ARUANG BINUANG
2) ARUANG MALOLO (SEMACAM PERDANA MENTERI)
3) ARUNG MATOA
4) PA’BICARA LOTONG
5) PAPPUANGAN BULANG
6) PAPPUANGAN BINUANG
7) MATOA PAKU

CIKAL BAKAL KERAJAAN BINUANG DIMULAI DISUATU PERKAMPUNGAN REA TIMUR SEKARANG DILERENG BUTTU PUSU, DIPEKIRAKAN SEKITAR ABAD KE-16, DIKAMPUNG ITU LAHIR SEORANG LAKI-LAKI YANG BERNAMA TOKALEANG BERARTI (LUAR BIASA). TOKALEANG BERTUMBUH MENJADI SEORANG LAKI-LAKI PERKASA YANG PEMBERANI DAN SELALU MEMBELA ORANG YANG DIANGGAPNYA BENAR.
DIKISAHKAN IA PANDAI ILMU PALAK, ILMU PASTI DAN JUGA AHLI GAIB. IA SENANTIASA BERTAPA DI BUTTU PUSU PADA SATU BATU BESAR YANG BERNAMA BUTTU PAERAN. IA KAIWIN DENGAN SEORANG WANITA CANTIK “TOMANURUNG”. (ORANG TURUN DARI KAYANGAN). HASIL PERKAWINANNYA ITU LAHIR DUA ORANG PUTRA YAITU: KAKAK YANG BERNAMA TAPENGO DAN ADIK BERNAMA TAKUMBA.
SETELAH TOKALEANG UZUR, BERDASARKAN KESEPAKATAN PARA TOMAKAKA DISEKITARNYA, TAPENGO DIANGKAT MENJADI RAJA DAN TAKUMBA WAKIL RAJA. PADA WAKTU ITU PULA DITETAPKAN BAHWA AMASSANGAN DIJADIKAN IBU KOTA KERAJAAN.

PADA SUATU KESEMPATAN TAPENGO RAJA DI AMASSANGAN ITU MEMBANTU RAJA BONE BERPERANG DENGAN RAJA PINEKO DINEGERI WAJO, DENGAN PENUH SIASAT YANG TINGGI IA DAPAT MENEWASKAN PINEKO. NSETELAH TAPENGO BERPERANG DENGAN ORANG SUPPIRANG, SEPANG, SARURA, POKKO, KUNYI, PAPPANDANGAN, MENDAPAT BANTUAN DARI RAJA BONE DIMANA MELAKUKAN PEMBAKARAN PADA WILAYAH YANG DISERANG TERSEBUT. SEHINGGA SEJAK ITU DIWILAYAH TERSEBUT DISEBUTKAN KANDEAPI, DENGAN DEMIKIAN WILAYAH KERAJAAN AMESSANGAN BERTAMBAH LUAS, SEBAGAI DAERAH TAMBAHAN ITU ANTARA LAIN DIPEROLEHNYA SEBAGAI PEMBERIAN RAJA BONE YANG BERADA DALAM WILAYAH SAWITTO (SAMPAI KETEPI SUNGAI BINANGA TERUS KETEKKONG) DAN ADA JUGA SEDIKIT WILAYAH KERAJAAN BALANIPA DIPEROLEHNYA BERKAT JASA BAIK RAJA BONE MEMINTAKAN PADA SAHABATNYA RAJA BALANIPA (MULAI DARI BULU BAWANG TERUS KEBULU TALLOE BERBATASAN DENGAN BATU TAPANGAO)
ADAPUN APARAT PEMERINTAHAN KERAJAAN AMESSANGAN OLEH RAJA TAPENGO SBB:
1. ARUNG MALOLO, SEBAGAI PASSULLE ARAJANG (ORANG BUGIS MENYEBUTNYA SULLEWATANG), ARUNG MALOLO BERTINDAK SEBAGAI WAKIL RAJA. APABILA RAJA BERHALANGAN, ARUNG MALOLO HARUS SAMA DERAJAT/KADAR DARAHNYA DENGAN RAJA, SEHINGGA ARUNG MALOLO HARUS DARI SAUDARA RAJA ATAU PUTERA RAJA YANG SEWAKTU-WAKTU DAPAT DIANGKAT MENJADI RAJA APABILA RAJA BERHALANGAN TETAP MENURUT ADA’MAPPURA ONRO TAMPEDDING RIGERO.
2. ARUNG MATOA RIPADANGNGE, SEBAGAI PENGHULU PERANG
3. PA’BICARA LOTONG, MENGURUS SEGALA PERKARA DALAM KERAJAAN
4. PA’BICARA BULANG, MEMBANTU PA’BICARA LOTONG MENGURUS SEGALA PERKARA DALAM KERAJAAN
5. PAPPUANGAN BINUANG, MENGURUS SEGALA PERKARA YANG TERJADI DALAM WILAYAH ULUBATE ATAU MIRRING, BATETANGNGA ATAU PENANIAN DAN TAPPA BATE ATAU DARA’
6. SURI BONE, PENGANTAR SURAT DARI ARAJANG BINUANG KERAJA BONE (ARUNG PONE)
7. SURO MALAPPA, PENGANTAR SURAT DARI RAJA BINUANG KEPADA PARA PEMBANTU RAJA
8. PEJABAT-PEJABAT LAINNYA YANG MENGURUS PEMERINTAHAN YANG MENGURUS PEMERINTAHAN DALAM KAMPUNG MASING-MASING.

TIGABATE KERAJAAN INI TERDIRI ATAS TIGA BATE YAITU:
ULU BATE, BATE TANGNGA, TAPPA BATE. TIAP-TIAP BATE TERBAGI DALAM BEBERAPA KAMPUNG YAITU:
1. MIRRING (ULU BATE), SESUDAH BELANDA MASUK DISEBUT DISTRIK MIRRING
2. PENANIAN (BATE TANGNGA) PADA JAMAN BELANDA MENJADI DISTRIK BINUANG
3. DARA’ (CAPPA BATE) PADA JAMAN BELANDA MENJADI DISTRIK TAKATIDING

KEDAULATAN MARITIM INDONESIA

KONFERENSI NASIONAL KEDAULATAN MARITIM INDONESIA DAN RAPAT KERJA KAPASGAMA 2010:
“Bersama Berkarya Membangun Budaya Unggul Bangsa yang Bermartabat”

Bidang maritim adalah salah satu program pembangunan Indonesia yang akhir-akhir ini menjadi fokus utama untuk diandalkan dalam rangka mengakselerasi kemajuan bangsa. Julukan Indonesia sebagai bangsa maritim dengan lautnya yang sangat luas tidak terbantahkan lagi. Hamparan 17.508 pulau dengan panjang pantai lebih dari 1/8 panjang keliling bumi, dan wilayah laut seluas 5,8 juta km2, serta cakupan ZEE seluas 2,7 km2 merupakan potensi yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Akan tetapi, julukan dan potensi-potensi tersebut ternyata masih menyimpan berbagai masalah, baik dari aspek konflik batas wilayah, pemberdayaan potensi yang ada di dalam laut itu sendiri, maupun yang terkait dengan berbagai dimensi masalah maritim (pengelolaan kawasan pesisir, energi gelombang laut, minyak lepas pantai, pencemaran laut, dan lain-lain).
Disinyalir pula bahwa, dari berbagai potensi maritim Indonesia, ternyata baru sekitar 10% yang mampu dirambah, dan inipun baru dalam tataran pengeksploitasian SDA laut, padahal masih banyak perspektif lain yang masih membutuhkan pikiran dan tangan-tangan terampil anak bangsa untuk mengantisipasinya. Dalam konteks ini, upaya mengeksplorasi dan mengeksploitasi, ataupun mengurai dan memecahkan berbagai problem yang menghadang maritim Indonesia tentu tidak bisa hanya dilimpahkan kepada pemerintah, akan tetapi masyarakat dan semua stakeholder mesti terlibat.
Berdasarkan kondisi obyektif di atas, maka Kelurga Alumni Sekolah Pascasarjana UGM (KAPASGAMA) dengan dukungan Sekolah Pascasarjana (SPs) UGM dan berbagai pihak terkait, memiliki tanggung jawab moral dan intelektual untuk berkontribusi sepenuh hati dalam upaya mensinergikan berbagai potensi anak bangsa demi kesejahteraan dan kemajuan bangsa berbasis maritim. Untuk itu, seiring dengan agenda Acara Raker KAPASGAMA 2010, maka Panitia Pelaksana mengadakan pula Konferensi Nasional Kedaulatan Maritim Indonesia yang akan mengulas masalah-masalah maritim Indonesia pada berbagai perspektif dalam format kluster dengan tema-tema representatif yang terkait dengan permasalahan yang mengemuka tentang maritim Indonesia.
1. Mendiskusikan dan mempublikasikan berbagai karya ilmiah yang berkaitan dengan wawasan Maritim Indonesia melalui berbagai macam perspektif keilmuan sesuai dengan kompetensi tiap-tiap bidang ilmu.
2. Meningkatkan pengetahuan dan intelektualitas para mahasiswa dan alumni Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada serta para peserta khususnya yang berhubungan dengan wawasan Maritim Indonesia.
3. Menumbuhkan kesadaran, kepedulian, dan partisipasi aktif mahasiswa dan alumni Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada serta para peserta terhadap nasib Maritim Indonesia melalui kemampuan yang dimiliki.
4. Mengembangkan dan memperkokoh keberadaan maritim Indonesia bagi kemakmuran dan wibawa bangsa.

PEMATERI
Pembukaan:
Prof.Ir. Sudjarwadi, M.Eng., PhD. (Rektor UGM)

Materi Presentasi dan Pembicara Keynote Speaker
1. Dr. Ir. Fadel Muhammad (Menteri Kelautan dan Perikanan RI) “Eksplorasi dan Eksploitasi Potensi Maritim Indonesia Menuju Bangsa yang Mandiri, Makmur, Sejahtera, Kuat, dan Berdaulat”.
2. Sri Sultan Hamengkubuwono X (Gubernur DIY) “ reposisi dan Revitalisasi Kedaulatan NKRI dalam Perspektif Maritim”

Narasumber:
1. Prof. Dr. Sarwono Kusumaatmadja (Pakar Ekonomi Kelautan/Mantan Menteri DKP)
2. Prof. Dr. Hasjim Djalal (Staf Ahli Departemen Kelautan dan Perikanan)
3. Dr. La Ode Ida ( Wakil Ketua DPD)
4. Dr. Hendropriyono (Mantan Kepala BIN)
5. Dr. Hartono, DEA, DESS (Direktur Sekolah Pascasarjana UGM/Pakar Pemetaan Perikanan dan Kelautan)
6. Laksamana Muda (Purn) Rosihan Arsyad (Mantan Gubernur Sumsel)
7. Prof. Dr. Irwan Abdullah (Pakar Kebudayaan/Akademisi )
8. Dr. Ir. Latif Sahubawa, M.Si (Pakar Pembangunan Perikanan dan Kelautan/Mantan Kepala PUSTEK UGM)
9. Daniel Muhammad Rosyid, Ph.D, Ir. MRINA. (Pakar Teknologi Kelautan)
10. Prof. Dr. Ir. Kamiso H. Nitimulyo, M.Sc (Pakar Pembangunan Kelautan dan Perikanan)
11. Dr. Nurul Khakim, M.Si (Kepala Pusat Studi Sumberdaya dan Teknologi Kelautan)
12. Rustiningsih, M.Si (Wakil Gubernur Provinsi Jawa Tengah) Ramli I. Umasugi, S.Pi, MM (Wakil Bupati Buru Provinsi Maluku)
13. Ir. Hugua (Bupati Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara)
14. Prof. Dr. Mukhlis Paeni (Pakar Kebudayaan Maritim)
15. Pemateri Kluster ( 28 pemateri hasil seleksi call for paper)

HAK BUDAYA DAN TEKNOLOGI MARITIM

Dalam beberapa waktu terakhir, kembali banyak diwacanakan upaya untuk mengembangkan kemaritiman. Terakhir, di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jumat (21/5), berlangsung peluncuran buku karya arsitek Martono Yuwono yang disertai dengan acara bedah buku Semangat Kebangkitan Nasional–Kembali ke Laut.
Hal itu masuk akal, mengingat dua pertiga wilayah Indonesia merupakan laut. Seperti kita pelajari dari sejarah nasional, ada banyak bukti bahwa warga Nusantara yang merupakan pendahulu bangsa Indonesia pernah memperlihatkan diri sebagai ”orang pelaut” yang tangguh. Sejarah maritim nasional akan dengan yakin menyebut kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Samudera Pasai, dan Demak sebagai kerajaan maritim yang membanggakan.
Oleh bermacam sebab, tradisi kemaritiman Nusantara ini surut secara berarti. Padahal, Indonesia pernah begitu semangat memperjuangkan Hukum Laut yang dimaksudkan untuk mendukung Wawasan Nusantara, yang intinya menegaskan status Indonesia sebagai negara maritim. Kita bahkan juga semangat untuk mengklaim zona ekonomi eksklusif; yang seperti namanya, ingin kita eksploitasi sepenuh-penuhnya untuk memajukan bangsa dan negara.

Kultur Maritim
Selain sejarah, sebenarnya ada lagi alasan kultural yang baik untuk menjadi sumber inspirasi bagi kebangkitan bangsa. Mengutip Direktur Pusat Kajian Masalah Laut dan Pengembangan Peradaban Maritim, Muhammad Karim, Martono menulis, secara sosio-antropologis kultur maritim lebih progresif dibandingkan dengan kultur daratan. Interaksi di antara komunitas yang tinggal di wilayah pantai juga lebih dinamis. Dinamika oseanografi air laut—yang diperlihatkan oleh gelombang, arus, dan angin—cenderung mempengaruhi perilaku dan sistem nilai dalam konstelasi budaya dan politik masyarakat pantai. Sifat-sifat terbuka, berani, egaliter, menerima keragaman lebih berkembang di komunitas pantai.
Masyarakat pantai—melalui pelayaran dan perdagangan—juga cenderung memiliki jiwa interaktif lebih tinggi dengan komunitas luar yang secara kultural, etnis, dan agama berlainan. Sebagai hasilnya, mereka punya pandangan yang lebih pluralistik dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di pedalaman.
Hanya saja, bersama dengan hilangnya tekad untuk menjadi bangsa yang berciri maritim, hilang pula peluang untuk menggali karakter atau trait unggul dari masyarakat pantai tersebut.
Kini, ketika kehidupan di darat semakin pengap dengan tekanan sosial-ekonomi yang semakin berat, Martono dan sejumlah kalangan lain yang punya keyakinan pro-maritim ingin membangkitkan kembali kejayaan maritim. Mungkinkah itu, apa syaratnya?

Dukungan Teknologi
Atas dasar sejarah, ”kembali ke laut” oleh Martono disebut sebagai hak kultural. Sejumlah upaya sebenarnya mencerminkan tekad ini. Secara simbolik, tekad ini juga dicerminkan dengan sejumlah pelayaran bersejarah, seperti pelayaran KRI Dewaruci, Pelayaran Phinisi Nusantara ke Vancouver (1986), Ekspedisi Phinisi Bugis Ammanagappa ke Madagaskar (1992), lalu Pelayaran Borobudur untuk menapak tilas rute perdagangan kayu manis pada masa lalu hingga ke Afrika Barat (2003). Ada lagi satu elemen lain yang disebut, yakni satelit Palapa yang mengarungi antariksa mengelilingi dunia.
Akan tetapi, cukupkah misi-misi tersebut di atas menghidupkan kembali jiwa maritim bangsa Indonesia? Rupanya, Agar tekad maritim di atas menjadi berkah bagi kesejahteraan Indonesia masih dibutuhkan kerja lebih banyak.
Kini, diharapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan bisa secara nyata membenahi kehidupan nelayan dengan memberi mereka kesempatan untuk berkembang dan menjadi tuan di negeri sendiri. Selama ini yang banyak terdengar adalah justru makin maraknya kapal nelayan asing yang terlibat dalam illegal fishing, yang disebut-sebut merugikan negara tidak kurang dari 5 miliar dollar AS setiap tahunnya.
Hal itu bisa terjadi karena Indonesia kekurangan kapal patroli, juga kekurangan kapal nelayan yang dapat mengambil ikan di laut dalam. Sementara nelayan asing memiliki kemampuan itu, bahkan mereka disebut juga telah menerapkan teknologi satelit guna memandu kapal mereka menuju titik-titik yang menjadi konsentrasi ikan di laut.
Untuk urusan kapal ini, agar bangsa bisa kembali menjadi ”a sea-faring nation”, tidak bisa lain industri galangan kapal nasional juga perlu direvitalisasi. Kita membayangkan, kalau saja cita-cita ”kembali ke laut” ini dapat diwujudkan, industri kapal nasional bisa berproduksi tanpa akhir. Ini karena pesanan akan terus mengalir dan, ketika pesanan ke-500, misalnya, diselesaikan, kapal pertama sudah perlu diganti.
Bisa juga ditambahkan, selain memproduksi kapal nelayan, industri kapal juga perlu dikembangkan untuk pembuatan kapal-kapal jenis lain, seperti kapal patroli Bea dan Cukai, kapal patroli keamanan laut, bahkan kapal perang. Maklum saja, wilayah laut yang luas juga mengamanatkan pengamanan kedaulatan.
Bahkan, apabila visi kelautan yang terkait dengan upaya pengembangan ekonomi juga ingin direalisasikan, bisa dituju pula aktivitas eksploitasi laut dalam, di mana diperkirakan terdapat nodul mineral bernilai tinggi, tetapi membutuhkan teknologi lebih canggih untuk menggarapnya.
Jadi, wacana memulihkan hak kultural baru akan lengkap apabila ia juga disertai dengan peningkatan kemampuan teknis untuk mewujudkannya. Kita sudah belajar dari pengalaman bahwa mewujudkan tekad melalui wacana—atau glorifikasi masa lalu—tidak akan membawa kita ke mana-mana.