Minggu, 20 Juni 2010

Politisi Ala Pemilu 2009

Oleh : Achmadi Touwe
Pengamat Pemerintahan dan Politik Lokal
Universitas Al Asyariah Mandar

Pemilihan Umum 2009 sudah berlalu, kasak - kusuk para politisi (kacangan, ikut-ikutan, yang gak pernah nyebut kata POLITIK, yang belajar, bahkan politisi mapan), belum lagi politisi “kutu loncat” (sekadar mencari posisi aman), semua sibuk untuk mempersiapkan diri. Rumah Sakit disibukkan, Kepolisian, Kehakiman, tukang-tukang sablon, konveksi, bahkan samapai kepala Dusun (sebuah pemandangan yang menunjukkan ketidak matangan dalam memahami politik). Ironisnya mereka tidak sibuk untuk mendalami partai yang menjadi “kendaraannya”. "Partai gak terlalu penting, yang penting jadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan mendapatkan gaji" (perkataan sebagian politisi dadakan). Ini perilaku sebagian politisi kita belakangan ini. Ada yang gamang, ada pula yang ketagihan, semua ini menuntut mereka untuk mendapatkan kursi putar berlapiskan karet busa (spoon) di parlemen untuk jadi anggota Dewan yang terhormat. Yang ketagihan berpikir, jika partai lama tak lagi meliriknya, maka tinggal "lompat" ke partai lain yang bersedia memasukkan mereka jadi caleg. Trus bagaimana dengan politisi yang trade mark (berlable) kacangan, ikut-ikutan, yang gak pernah nyebut kata POLITIK, yang belajar, bahkan yang sarjana, kalau menang pada pemilu nanti, maka sebuah kehancuran akan melanda. Sebab ketika ditanya apa tujuannya menuju parlemen, jawaban yang ada pada setiap caleg adalah mewakili rakyat (anak saya yang SD saja tau kalau itu jawabannya). Tidak semua sih.!!. Belum lagi ketika ditanya apa Visi dan Misi partai yang mengusungnya. Jadi anggota Dewan mang enak sih.!!.

Migrasi politisi atau “kutu loncat” begitu sebutannya. Jelas bukan pujian, justru tersembul kekhawatiran. Bagaimana tidak, orientasi politisi kita ternyata hanya sebatas kursi di DPRD. Jangan tanyakan visi, misi, apalagi ideologi, karena sesungguhnya mereka tidak serius. Partai politik selalu berbeda satu dengan lainnya, paling tidak untuk urusan ideologi. Jadi kalau anda berpindah-pindah partai, maka orang bingung untuk menentukan apa ideologi Anda. Kiri-kanan oke, atau atas-bawah juga oke?
Di jagat raya ini, pindah dari satu tempat ketempat lain adalah hal yang biasa, tetapi yang perlu dijaga adalah “orientasi dan loyalitas” kita. Partai boleh A atau B, tapi loyalitas kita terhadap rakyat harus tetap dijaga dengan sepenuh hati. Pemeonya kurang lebih begini: loyal pada profesi bukan pada institusi.
Emang sih, setiap orang punya alasan untuk lompat (pindah) dari Partai A – ke Partai B, maka kita juga gak boleh asal nuduh aja. Berpindah partai khan untuk bisa dicalonkan pada posisi aman. Ingat, politik adalah seni menciptakan kemungkinan. Jadi tidak ada yang tidak mungkin, semuanya mungkin. Politik adalah seni membuat ketidakmungkinan menjadi mungkin. Nah, kalau tidak mungkin jadi caleg di partai yang lama, maka pindah partai saja biar tetap jadi caleg. Mungkin, kan? Lagi pula, berpindah partai juga menunjukkan politisi kita tetap loyal pada "profesinya,” ya itu tadi, menjadi anggota dewan. Mestinya Partai politik harus dituding. Peluang politisi pindah partai hanya terjadi kalau partai politik mau menerima. Bagaimana tidak untuk menerima politisi dari partai lain, soal dana, atau juga karena partai kekurangan kader "jagoan" untuk digadang-gadang jadi anggota dewan.

Partai politik adalah instrumen penting yang membangun sistem politik. Tak ada sistem politik moderen tanpa adanya partai politik. Partai Politik adalah mekanik untuk menjalankan sistemPartai untuk memperjuangkan banyak kepentingan. Termasuk juga bagaimana partisipasi rakyat dimasukkan dalam agenda politik bernegara. Dalam teori politik, partai politik merupakan kepanjangan kepentingan rakyat, setidaknya para konstituennya.

Teori ini menunjukkan pada kita, menjadi anggota partai sejatinya adalah tugas mulia. Mereka bersatu dalam payung yang sama: memperjuangkan cita-cita dan tujuan untuk kepentingan orang banyak. Itu sebabnya, demi partai banyak anggota yang rela mengorbankan tenaga dan hartanya. Mereka mau dan harus berkeringat, hingga menjadi politisi sejati. Partai juga harus mempunyai pola rekruitmen sedemikian rupa, sehingga hanya orang-orang pilihan yang akan menjadi kader andalan partai.

Tampaknya teori di atas telah ditinggalkan dunia politik kita. Manajemen partai yang amburadul membuka peluang bagi politisi kutu luncat tersebut. Tak perlu jadi kader yang berkeringat, cukup punya pengalaman di partai lain, maka Anda akan jadi kader partai dengan nomor jadi. Atau jadilah artis ngetop, maka nomor jadi akan menanti Anda dan siap diberikan partai politik.

Barangkali dari sekian institusi dimuka bumi ini, Dewan Perwakilan Rakyatlah yang paling enak. Seluruh fasilitas disediakan oleh negara. Tapi toh masih saja terdengar disana-sini “korupsi”. Telah banyak yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan tuduhan korupsi yang berakhir di dalam terali besi. Tapi berikutnya ketika terjadi hal yang sama, mereka biasa-biasa aja alias gak malu. Sebab, mereka berprinsip kami bukan yang pertama, sudah banyak yang telah ditangkap KPK dengan tuduhan korupsi.

Akankah polemik demokrasi di negeri ini akan berakhir..????... wallahualam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar