Politisi Dadakan Menuju Pemilu 2009
Oleh : Achmadi Touwe
Pengamat Pemerintahan dan Politik Lokal
Universitas Al Asyariah Mandar
Hidup dengan bergelimang fasilitas adalah merupakan keinginan banyak orang (meski tidak semua) Parlemen (dari pusat hingga ke daerah) adalah merupakan pilihan dari sekian banyak alternatif yang menjadi trend bagi setiap orang menjelang PEMILU 2009, Hiruk-pikuk sudah bergema beberapa bulan terakhir. Kasak-kusuk sudah kerap terdengar. Itu semua tentang satu hal : siapa yang akan masuk dan disiapkan duduk di kursi DPR. Bukan kepada dengan melihat siapa yang kapabel untuk dipersiapkan dapat memperjuangkan visi dan misi partai. Gak usah berbicara sampai memperjuangkan apa yang menjadi kehendak rakyat pasti mereka gak bakal mampu bertarung dengan eksekutif.
Terjadi perebutan posisi nomor peci (calon jadi), sampai pada perolehan suara terbanyak masih menjadi bahan diskusi di kubuh partai. Belum lagi kritikan keras yang terlontar dari para (mantan) elit partai yang merasa terpinggirkan.
Sementara, dari pihak parpol menganggap ketidakpuasan dalam penempatan posisi daftar calon legislatif adalah hal biasa. Partai politik memiliki banyak alasan untuk menempatkan calon atau kadernya di nomor urut jadi. Salah satu syaratnya adalah mereka yang bisa memberi umpan balik bagi parpol pengusung agar mendapat simpati dan dukungan dari masyarakat. Banyak pihak diundang dan dipinang untuk masuk, mulai dari tokoh, aktivis hingga kalangan selebritas. Intinya agar dapat meraup suara sebanyak-banyaknya untuk dikonversi menjadi kekuasaan atau kursi di Parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat). Pertanyaan yang selalu mengusik, benarkah keberadaan mereka yang akan masuk kesana (parlemen) lebih karena dorongan idealisme.?. Ataukah rendahnya kepercayaan rakyat kepada anggota parlemen dalam keterpurukan. Meski bukan mustahil tetapi agak sulit untuk menerima alasan yang pertama.
Ongkos yang tidak sedikit untuk bersaing menuju Parlemen adalah salah satu hal yang tidak boleh dianggap entreng. Dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk ukuran normal, maka tidak jarang akan menjadi semacam "tagihan" di masa depan saat yang bersangkutan menjabat. Belum lagi adanya kekhawatiran kurangnya kapabilitas dalam menjalankan fungsinya. Maka, bisa jadi mereka sekadar pelengkap tidak penting -atau istilah anak sekarang, hanya ”nyampah” alias ”mesin politik”.
Kehadiran para politisi dadakan itu tidak terlepas dari adanya kesempatan dari partai politik yang memberi peluang untuk itu. Sebagai misal pelibatan para ”selebritis” oleh parpol di nomor jadi daripada kadernya sendiri, atau seorang cendekiawan dalam daftar calon legislatif, hal ini tentu dengan pertimbangan khusus dari partai politik yang bersangkutan.
Apakah nantinya jika terpilih sang calon mampu mengemban amanat rakyat dan membawa perbaikan bagi bangsa dan negara, itu soal nanti biasanya dengan alasan bisa sambil belajar, yang pasti kehadirannya di gedung parlemen sudah memberikan ’manfaat' bagi parpol pengusung. Kemampuan dan pengetahuan legislasi, pengawasan dan anggaran, akan menjadi tanggung jawabnya di parlemen, untuk itu rekam jejak sang calon menjadi tidak main-main. Tetapi hal semacam itu nampaknya tidak dianggap begitu penting asal masih bisa memberikan kontribusi bagi parpol pengusung -paling tidak menambah jumlah kursi DPR. Demi alasan jangka pendek untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan terlihat lebih mendesak. Belum lagi fasilitas yang melimpah bagi anggota DPR (pusat hingga daerah) semakin membuat bursa caleg begitu mempesona.
Kondisi ini mengingatkan film komedi The Distinguished Gentleman, yang dibintangi aktor Eddie Murphy dengan memerankan sosok anggota legislatif yang konyol. Bedanya jika anggota legislatif yang diperankan Eddie Murphy cuma dalam film, tetapi di sini berbondong-bondong para artis dan pemain komedi tidak lagi berperan tetapi benar-benar menjadi wakil rakyat jika mereka terpilih. Benarlah adanya pendapat jika pemilu 2009 menjadi sangat penting. Tidak saja pelaksanaannya tetapi juga apa yang akan dihasilkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar